Jumat, 30 Mei 2014

Dua Puisi dari buku Nota Elegia

Jun Nizami


Melankolia

Saya telah lupa kapan untuk yang terakhir kali
saya tidur di malam hari

Seperti kamu tahu, sejak lama sekali
setiap malam tiba, selalu saya mengusahakan diri
telah berada di puncak bukit atau di mana pun
di sebuah tempat yang lebih tinggi

Menyaksikan bintang berkedip sepanjang malam
atau menyaksikan sehampar lampu,
untuk kemudian menerka-nerka
yang sebelah manakah rupanya lampu rumahmu

Dari situ, lalu saya akan membayangkanmu
tengah melakukan sesuatu (misal; memeluk
boneka beruang yang besar lagi lucu)
atau membayangkanmu
membayangkanku

Tahukah? seorang lelaki tak lagi dapat tidur
hanya agar bisa menuliskan
bait sentimentil semacam ini:

seperti yang telah kita duga suatu ketika, laila,
inilah kisah kita, akhirnya: berbahagia.
seseorang lalu meminangmu, seperti duka demi duka
yang kemudian menimang daku.

dari  sini, lailaku, sehampar lampu kotamu
--tasikmalaya itu, terlihat begitu sendu.
 yang kelap-kelip itu, adakah ia sebuah lampu
dari halaman
ingatanmu?




Nota Elegia VII

Seperti yang telah kusajakkan sebelumnya
Malam ini, aku mengingatmu kembali
Selalu selalu

Ingatanku, barangkali, payung hitam itu
Yang senantiasa terbuka
Senantiasa senantiasa

Seperti pedih dan cinta. Garis tanganku
Yang kusut itu

Udara bagi helaan ini. Seperti lenganku
Bagi lenganmu. Terbuka

Tetapi tak, karena seperti aku
Yang telah berdua dengan kesendirian ini
Kaupun, kini tak lagi sendiri

Kita telah melambai
Dengan masing-masing kepergian
Yang dengan kata lain, kembali asing
Terhadap satu sama lain

Sampai di sini, kekasihku:
Aku telah berkelahi dengan begitu banyak lelaki
Aku telah berkelahi dengan begitu banyaknya sepi

Tanpamu, di sisi

My sweetheart,
Yang bukan lagi
Yang bukan lagi

Kamis, 27 Februari 2014

Tentang Seseorang yang Memaafkan Tuhan



Jun Nizami

Tentang Seseorang yang Memaafkan Tuhan


Pada mulanya mungkin memang kata, kemudian
Waktu bercerita...

I

Ada seseorang menghadap pada pagi,
Pada mula hari. Menyambut kabut yang datang,
Memandang sungai yang pergi, seraya bernyanyi,
Tentang hidup, sebagai sebuah melodi
Yang muskil dimengerti:

Kalau saja saya tak ada, Embun, Daun-daun cantigi.
Tuhan, bunga-bunga, tentu tak ada.

Tetapi nyanyi akan berhenti, dan kabut pergi.
Putih yang terhapus. Langit yang misterius.
Lanskap demi lanskap yang tersingkap, dan ia mengerti
Ia takkan pernah mengerti:

Tuhanku, alangkah lengkap, keberadaan dan keabadian
Begini menyekap

Apakah Kun untuk sesuatu yang takkan ada?

II

Tetapi hidup adalah igauan panjang, yang ia pikir, mungkin,
Tak mesti ia mengerti; Bagaimana Tuhan memerintah;
Gugusan bintang yang indah; Bulan yang berputar
Sesuai manzilah; Dan bagaimana manusia pertama,
Yang pasrah –diutus, dari galaksi yang entah.

III

Ia teringat pada sepotong percakapan:

-         Tak ada yang tak mungkin untuk Tuhan, Anak Muda!

+        Kita terlanjur ada. Lalu mungkinkah Ia bisa membuat
          Kita jadi tak pernah ada. Tak pernah ada, Pak Tua?

IV

Ya, ia akhirnya jadi teringat juga pada seorang Pak Tua,
Suatu ketika,  dengan sebuah nasihat, yang telah tua pula,

"Tak ada pilihan, selalu, selain memaafkan
Dan berdamai dengan dirimu."

Ia jadi waswas, karena tahu, ada waktu –yang waktu itu
Membuat nasihat-nasihat semacam itu menjadi terasa
Naif lagi lucu.

"Saya kira, Pak Tua," ucapnya, "selalu ada dua
Pilihan yang tersedia: Yang pertama, pilih pilihan yang kedua.
Yang kedua, pilih pilihan yang pertama." Mengejek sebenarnya.

Meski memang, akhirnya, bertahun-tahun kemudian,
Ia (barangkali terpaksa) percaya, berkata,

"Telah kuterima diriku, sebagaimana daun-daun
Menerima embun. Jendela menerima pagi. Telah kuterima
keberadaanku: Kutukan. Telah kumaafkan Tuhan."

V

Tetapi segalanya akan berhenti, dan kabut pergi.
Putih yang terhapus. Langit yang misterius.
Lanskap demi lanskap yang tersingkap, dan ia mengerti
Ia takkan pernah mengerti:

Tetapi selalu terdengar seseorang berseru
Dari dalam tubuhku, seperti dalam Matius,
Dari luka-luka Kristus:

Tuhanku, Tuhanku, kenapa Kamu mempermainkanku?


Minggu, 12 Januari 2014

Ziarah (puisi Jun Nizami - by JHHB). MP3

Ziarah puisi Jun Nizami - by JHHB



Ziarah

Akulah Eufrat, airmata
Sepanjang Mesopotamia yang terluka
Juga Tigris, wahai Muharram merdu
Bagi Babylon yang habis jadi debu

Minumlah darah dari tubuhku
O Karbala yang dahaga
Sebab setiap kepala yang dilarungsungai
Dari beribu batang leher yang terpenggal
Mestinya adalah bahasa
Sejarah yang ganas
Anggur cinta yang keras

Maka tenggaklah sabda dari huluhilir ziarahku ya Hurairah:
Akan terbunuhlah 99 dari tiap 100 orang yang berperang itu
Darah yang pasang, di tubuh airku yang surut.