Selasa, 27 Agustus 2013

Catatan Perjalanan: Sepanjang Jalur Gunung Guntur


Catatan Perjalanan: Sepanjang Jalur Gunung Guntur



Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

(Pramoedya Ananta Toer)

(1)

Sebenarnya saya kurang percaya diri untuk membuka catatan kecil ini dengan ungkapan gagah seperti yang saya kutip di atas . Ini hanya catatan perjalanan biasa, sehabis mendaki. Sama seperti catatan-catatan perjalanan lainnya yang saya tulis di blog ini, semisal catatan perjalanan dari Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate, catatan perjalanan seusai mendaki Papandayan dan Cikuray –yang belum selesai, dan catatan perjalanan Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi, dan catatan-catatan yang lainnya lagi. Ini hanya catatan perjalanan biasa, meski ini, saya pikir juga tidak tepat untuk saya jadikan alasan kurang percaya diri. Jadi, bisa jadi sebenarnya saya tidak tahu kenapa saya kurang percaya diri untuk membuka catatan kecil ini dengan ungkapan gagah seperti yang saya kutip di atas. Jadi, ketidak-tahuan ini bisa jadi juga: Ini karena saya tidak mengenal diri saya sendiri.

Ini jadi mengantarkan saya pada pikiran: Kenapa hal-hal yang dialami, dipikirkan atau dirasakan seseorang harus memiliki alasan? Untuk apa? Bagaimana kalau tidak memiliki alasan?
Saya mendaki, entah untuk apa. Kenapa harus ada makna? Kenapa harus ada arti? Dunia toh tidak berhenti, meski barangkali ia tahu kita tidak mengerti. Dan hari-hari toh terus berlanjut, meski kamu tidak mengerti untuk apa kamu hidup.

(2)

Sebutlah Tapak Lamping, sebuah nama yang saya ajukan ketika kawan-kawan saya mencari nama untuk semacam komunitas pecinta alam di kampung kami. Dan jadilah! Dan tak usahlah bertanya apa makna atau artinya, karena saya biasanya akan balik bertanya: Kenapa harus ada makna? Ada arti? Bagaimana kalau tak bermakna? Tak berarti?

(3)

Baiklah, kita mulai!

21/08/13

Setelah rencana ke Ciremai tahun ini kembali gagal, akhirnya sidang “isbat” yang begitu lambat karena dipenuhi kata “terserah”dari anggota dewan ini memutuskan untuk menuju Gunung Guntur, Garut. Kata “terserah” ini selalu saya tandai sebagai kemungkinan bahwa kami adalah orang-orang yang gamang untuk mengambil keputusan, tapi bisa jadi juga sebagai sikap toleran, atau bisa jadi juga karena kemungkinan lain yang belum saya temukan. Dijadikan bahan candaan, misalkan, seperti yang akhirnya kami lakukan sepanjang perjalanan.

+ Mau naik jam berapa?

- Terserah!

+ Bikin tenda di sebelah mana?

- Terserah!

+ Ngopi atau mati?

- Terserah!

(4)

Swiss van Java, konon itulah julukan yang disematkan komedian Charlie Chaplin untuk Garut. Ini untuk kali ketiga kami mendaki Gunung di Garut, setelah sebelumnya Cikuray dan Papandayan. Kini Guntur. Setelah searching di internet terlebih dulu, 2.249 mdpl, benar-benar bisa saya anggap enteng.

Dalam sidang “isbat”, sebetulnya Ikbal mengajukan kembali Cikuray, alasannya karena Ochay (bukan nama sebenarnya) belum pernah ke sana. Tapi saya menolak. Saya memilih Guntur, karena kami semua belum pernah.

(5)

16. 30 wib kurang lebih, kami tiba di desa terakhir, lalu mampir di warung untuk membeli kebutuhan logistik di sekitar desa terakhir, karena kami lupa untuk mampir di pasar terakhir.

Hampir maghrib ketika kami berempat tiba di kampung Citiis, kampung terakhir, di kediaman ketua RW untuk terlebih dulu ngobrol, untuk sekaligus numpang menitipkan motor. Di kediaman ketua RW ini, sekilas melihat stiker, bertulis PUPALA, Pura-pura Pecinta Alam. Kami tertawa.

Selesai shalat di mesjid terdekat, kembali ngobrol dengan seseorang. Ia memaparkan tentang jalur pendakian; tentang jiwa-jiwa yang tersesat dan dicari-cari tim SAR beberapa pekan ke belakang (dengan kesan seolah mereka disesatkan setan); kemudian mitos. Ya, selalu ada mitos...

(6)

Berhubung kami belum pernah sama sekali, ada seorang Pak Tua (penyebutan Pak Tua di sini karena dua hal. Pertama karena saya lupa namanya. Kedua agar terkesan seperti cerita silat), Pak Tua itu menyarankan agar kami berangkat nanti pagi, menumpang truk pengangkut pasir sampai area penambangan atau akses kendaraan terakhir. Tetapi, akhirnya setelah mengadakan kembali sidang “isbat” sambil bercanda dengan kata “terserah” akhirnya kami memutuskan untuk berangkat. Minimal sampai Curug Citiis, untuk kemudian esok pagi dilanjutkan lagi menuju Puncak Guntur. Akhirnya, Pak Tua itupun berpesan, kurang lebih begini:

“ Hati-hati, ya Jang, jangan bicara kasar. Terus kalau mau bertanya, jangan bertanya ‘jalan’, tapi harus ‘jalur’! ”

Saya jadi membayangkan, betapa sebuah kata-kata bisa jadi begitu berharga, bisa memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap manusia.

(7)

Sudah gelap, ketika beberapa menit kami berjalan. Syukur masih ada truk yang hendak menuju pertambangan. Betul-betul gila dan mengesankan, sepanjang perjalanan, di atas truk, tubuh kami terbanting-banting. Tapi kami mulai bisa melihat lampu-lampu yang terhampar, seperti ribuan kunang-kunang yang terjebak dan terdampar.

(8)

Saya selalu suka melihat hamparan lampu-lampu dari kejauhan. Kemudian membayangkan hal-hal yang tengah dilakukan setiap orang di sekitar lampu-lampu yang terlihat kecil itu; di sudut lain, barangkali ada seseorang yang sedang menangis, ketika di sudut lain lagi barangkali ada seseorang yang sedang tertawa. Seseorang lagi barangkali tengah memeluk boneka, ketika seseorang lagi barangkali tengah menjaga pos ronda. Barangkali pula ada seseorang yang tengah tersesat dan kelaparan, ketika seseorang lagi barangkali tengah mendengarkan sebuah siaran radio dengan perasaan yang putus asa.

Ada dua penggalan sajak saya yang akan saya kutipkan di sini. Dua penggalan dari dua sajak yang berbeda:

...seperti hamparan lampu-lampu itu yang lebih terlihat
indah dari kejauhan, kau betapa nampak  lebih bercahaya
dalam kenangan

 (Meletakkan Kepala di Atas Meja)

... yang kelap-kelip itu, adakah ia sebuah lampu
dari halaman
ingatanmu?

(Melankolia)

(9)

Sekitar satu jam dari kampung terakhir. Mungkin karena gelap, Curug yang kami tuju , yang meski kami dengar gemuruhnya tak kami temukan. Sidang “isbat” lagi. Akhirnya kami memutuskan mendirikan tenda di sekitar area pertambangan. Shalat berjamaah, masak, ngopi, melihat lampu-lampu, lalu tidur di bawah cahaya bulan. Kebetulan malam itu adalah malam bulan purnama. Saya jadi membayangkan srigala, saya jadi ingat pesan “jangan bicara kasar dan jangan bertanya menggunaan kata jalan” dari Pak Tua. Tapi justru karenanya saya jadi berbisik, pada sleeping bag, “anjing, dingin sekali”. Dan bertanya, entah kepada apa, entah pada siapa, “yang manakah jalan kebenaran, jalan keselamatan dari agama yang telah terpecah-pecah menjadi beberapa golongan ini?”

(10)

09.00 wib kurang lebih. Kami mengisi air di Curug Citiis. Sumber air terakhir sebelum mendaki. Curug yang ternyata lumayan dekat dan terlihat dari tempat kami mendirikan tenda: Area pertambangan yang mengerikan. Saya jadi membayangkan manusia-manusia yang melahap gunung demi gunung, mengunyah batu satu-persatu, lalu meneguk gundukan pasir sampai butir-butir terakhir.

Gunung Guntur terlihat gersang, hanya ada beberapa pohon pinus yang bisa  terhitung (jika kamu mau menghitung). Selebihnya hanya kerikil, batu dan pasir, dan sehampar ilalang berwarna coklat menyala terkena sinar matahari.

2.249 mdpl dengan perkiraan waktu tempuh 4-5 jam yang saya anggap enteng, ternyata di luar dugaan dan jauh melenceng. Kamu bisa membayangkan jalur yang terus menanjak, berdebu, penuh kerikil rawan yang mampu membuatmu meragukan kuatnya pijakan kakimu sendiri. Ditambah terik matahari. Ditambah tak ada tempat yang teduh. Saya jadi membayangkan Padang Mahsyar yang tak terbayangkan. Tempat kelak manusia-manusia dikumpulkan, berhimpit-himpit, berdesak-desak, di mana jarak matahari dengan kepala teramat sangat dekat. Hari-hari naas yang teramat panas. Di mana hanya ada beberapa golongan manusia yang mendapat naunganNya. Semoga kita termasuk di antara golongan tersebut. Amin...

(11)

Saya mulai belajar, “2.249 mdpl boleh kamu anggap enteng, tapi mulai sekarang kamu juga harus memperhitungkan derajat kemiringan! Dasar bodoh!”

(12)

Lelah. Dan beberapa kali istirah...
Setiap berhenti selalu bikin kopi...

(13)

Ikbal tidur. Masuk dzuhur. Melihat Firman tayamum. Jadi debu...

(14)

Memutuskan melanjutkan pendakian setelah Ashar. Membayangkan diri termasuk golongan yang celaka kelak di Padang Mahsyar.

(15)

Kamu dekat
Tapi aku tak sampai-sampai.

(16)

Dan malam sampai.
Melihat kembali lampu-lampu
Dan barangkali kamu
Di situ
Di perasaan
Kasih yang tak sampai.

(17)

Angin memukul-mukul tenda
Dan ranting-ranting cantigi
Ochay membangun api
Ikbal selesma
Firman shalat
Saya tak ada.

(18)

Melihat handphone. Sial, ternyata masih terjangkau signal! Menengok facebook sebentar. Sial, kenapa jadi selalu ingin melihat profil facebook perempuan ini! 

(19)

“Apa susahnya sih membakar sampah bekas bungkus makanan atau minumanmu sendiri? Baiklah, kali ini saya akan membakar sampahnya. Tapi lain kali saya akan membakar orangnya! Pecinta Alam memang omong kosong!”

(20)



Tentang sampah, saya pikir, ada beberapa kesamaan dengan apa yang dikatakan Pak Tua

di awal, kata yang kerap dihubung-hubungkan dengan semacam mitos,


“Kalau di gunung itu gak boleh bicara kasar, nanti bla...bla...bla...”



Setelah itu tentu akan jadi timbul pertanyaan: Membuang sampah sembarangan dan bicara kasar itu apakah jadi hanya tidak boleh dilakukan ketika berada di suatu tempat saja?

Itulah kenapa saya membagi pendaki-pendaki sampah itu menjadi beberapa kategori:



- Ada pendaki yang di gunung, di rumah, atau dimanapun lingkungannya ia terbiasa buang sampah sembarangan.



- Ada pendaki yang dimanapun ia tak membuang sampah sembarangan.



- Kemudian ada juga pendaki, yang ketika di gunung ia betul-betul tidak buang sampah sembarangan, tapi ketika berada di luar  itu, ia membuang sampah sembarangan. Untuk kategori yang ini, saya pikir, adalah ia adalah tipe pendaki yang menganut kata-kata di atas, 

“kalau di gunung itu gak boleh buang sampah sembarangan...”

(21)

Perjalanan turun tak kalah gila. Derajat kemiringan ditambah jalur dengan tumpukan kerikil yang licin membuat si Ochay harus kakarayapan, sosorosodan, dan keketeyepan. Saya sendiri sampai memilih kukurusukan membuat jalur baru di tengah padang ilalang.  Kadang terlalu melenceng, hingga membuat saya harus kembali ke jalur semula, yang benar.

Perjalanan turun memang selalu lebih cepat. Kami harus mengejar shalat Jumat.

(22)

+ Apa yang kamu dapat dari mendaki gunung?

- Saya tidak tahu. Lagi pula apa memang harus mendapatkan sesuatu?



                                                                                                   Jamanis 2013


Langit Biru
Curug Citiis
Ikbal, Ochay, Firman
Titik GPS Gunung Guntur (Ikbal, Ochay, Firman)
(Ikbal, Ochay, Firman)
Sekitar Area Penambangan (Ikbal, Ochay, Firman)
Ilalang
Merayap
Di Seberang Cikuray
Sunrise