Orang
boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarah.
(Pramoedya Ananta Toer)
(1)
Sebenarnya saya kurang percaya diri untuk membuka
catatan kecil ini dengan ungkapan gagah seperti yang saya kutip di atas . Ini
hanya catatan perjalanan biasa, sehabis mendaki. Sama seperti catatan-catatan
perjalanan lainnya yang saya tulis di blog ini, semisal catatan perjalanan dari
Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate, catatan perjalanan seusai mendaki Papandayan
dan Cikuray –yang belum selesai, dan catatan perjalanan Pertemuan Penyair
Nusantara VI di Jambi, dan catatan-catatan yang lainnya lagi. Ini hanya catatan
perjalanan biasa, meski ini, saya pikir juga tidak tepat untuk saya jadikan
alasan kurang percaya diri. Jadi, bisa jadi sebenarnya saya tidak tahu kenapa
saya kurang percaya diri untuk membuka catatan kecil ini dengan ungkapan gagah
seperti yang saya kutip di atas. Jadi, ketidak-tahuan ini bisa jadi juga: Ini
karena saya tidak mengenal diri saya sendiri.
Ini jadi mengantarkan saya pada pikiran: Kenapa
hal-hal yang dialami, dipikirkan atau dirasakan seseorang harus memiliki
alasan? Untuk apa? Bagaimana kalau tidak memiliki alasan?
Saya mendaki, entah untuk apa. Kenapa harus ada
makna? Kenapa harus ada arti? Dunia toh
tidak berhenti, meski barangkali ia tahu kita tidak mengerti. Dan hari-hari toh terus berlanjut, meski kamu tidak mengerti
untuk apa kamu hidup.
(2)
Sebutlah Tapak Lamping, sebuah nama yang saya ajukan
ketika kawan-kawan saya mencari nama untuk semacam komunitas pecinta alam di
kampung kami. Dan jadilah! Dan tak usahlah bertanya apa makna atau artinya,
karena saya biasanya akan balik bertanya: Kenapa harus ada makna? Ada arti?
Bagaimana kalau tak bermakna? Tak berarti?
(3)
Baiklah, kita mulai!
21/08/13
Setelah rencana ke Ciremai tahun ini kembali gagal,
akhirnya sidang “isbat” yang begitu lambat karena dipenuhi kata “terserah”dari
anggota dewan ini memutuskan untuk menuju Gunung Guntur, Garut. Kata “terserah”
ini selalu saya tandai sebagai kemungkinan bahwa kami adalah orang-orang yang
gamang untuk mengambil keputusan, tapi bisa jadi juga sebagai sikap toleran,
atau bisa jadi juga karena kemungkinan lain yang belum saya temukan. Dijadikan
bahan candaan, misalkan, seperti yang akhirnya kami lakukan sepanjang
perjalanan.
+
Mau naik jam berapa?
-
Terserah!
+
Bikin tenda di sebelah mana?
-
Terserah!
+
Ngopi atau mati?
-
Terserah!
(4)
Swiss van Java, konon itulah julukan yang disematkan
komedian Charlie Chaplin untuk Garut. Ini untuk kali ketiga kami mendaki Gunung
di Garut, setelah sebelumnya Cikuray dan Papandayan. Kini Guntur. Setelah
searching di internet terlebih dulu, 2.249 mdpl, benar-benar bisa saya anggap
enteng.
Dalam sidang “isbat”, sebetulnya Ikbal mengajukan
kembali Cikuray, alasannya karena Ochay (bukan nama sebenarnya) belum pernah ke
sana. Tapi saya menolak. Saya memilih Guntur, karena kami semua belum pernah.
(5)
16. 30 wib kurang lebih, kami tiba di desa terakhir,
lalu mampir di warung untuk membeli kebutuhan logistik di sekitar desa
terakhir, karena kami lupa untuk mampir di pasar terakhir.
Hampir maghrib ketika kami berempat tiba di kampung Citiis,
kampung terakhir, di kediaman ketua RW untuk terlebih dulu ngobrol, untuk sekaligus
numpang menitipkan motor. Di kediaman ketua RW ini, sekilas melihat stiker,
bertulis PUPALA, Pura-pura Pecinta Alam. Kami tertawa.
Selesai shalat di mesjid terdekat, kembali ngobrol
dengan seseorang. Ia memaparkan tentang jalur pendakian; tentang jiwa-jiwa yang
tersesat dan dicari-cari tim SAR beberapa pekan ke belakang (dengan kesan
seolah mereka disesatkan setan); kemudian mitos. Ya, selalu ada mitos...
(6)
Berhubung kami belum pernah sama sekali, ada seorang
Pak Tua (penyebutan Pak Tua di sini karena dua hal. Pertama karena saya lupa
namanya. Kedua agar terkesan seperti cerita silat), Pak Tua itu menyarankan
agar kami berangkat nanti pagi, menumpang truk pengangkut pasir sampai area
penambangan atau akses kendaraan terakhir. Tetapi, akhirnya setelah mengadakan
kembali sidang “isbat” sambil bercanda dengan kata “terserah” akhirnya kami
memutuskan untuk berangkat. Minimal sampai Curug Citiis, untuk kemudian esok
pagi dilanjutkan lagi menuju Puncak Guntur. Akhirnya, Pak Tua itupun berpesan,
kurang lebih begini:
“ Hati-hati, ya Jang, jangan bicara kasar. Terus
kalau mau bertanya, jangan bertanya ‘jalan’, tapi harus ‘jalur’! ”
Saya jadi membayangkan, betapa sebuah kata-kata bisa
jadi begitu berharga, bisa memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap manusia.
(7)
Sudah gelap, ketika beberapa menit kami berjalan.
Syukur masih ada truk yang hendak menuju pertambangan. Betul-betul gila dan
mengesankan, sepanjang perjalanan, di atas truk, tubuh kami terbanting-banting.
Tapi kami mulai bisa melihat lampu-lampu yang terhampar, seperti ribuan
kunang-kunang yang terjebak dan terdampar.
(8)
Saya selalu suka melihat hamparan lampu-lampu dari
kejauhan. Kemudian membayangkan hal-hal yang tengah dilakukan setiap orang di
sekitar lampu-lampu yang terlihat kecil itu; di sudut lain, barangkali ada
seseorang yang sedang menangis, ketika di sudut lain lagi barangkali ada
seseorang yang sedang tertawa. Seseorang lagi barangkali tengah memeluk boneka,
ketika seseorang lagi barangkali tengah menjaga pos ronda. Barangkali pula ada
seseorang yang tengah tersesat dan kelaparan, ketika seseorang lagi barangkali
tengah mendengarkan sebuah siaran radio dengan perasaan yang putus asa.
Ada dua penggalan sajak saya yang akan saya kutipkan
di sini. Dua penggalan dari dua sajak yang berbeda:
...seperti hamparan
lampu-lampu itu yang lebih terlihat
indah dari
kejauhan, kau betapa nampak lebih bercahaya
dalam kenangan
(Meletakkan
Kepala di Atas Meja)
... yang kelap-kelip itu, adakah ia sebuah lampu
dari halaman
ingatanmu?
(Melankolia)
(9)
Sekitar satu jam dari kampung terakhir. Mungkin
karena gelap, Curug yang kami tuju , yang meski kami dengar gemuruhnya tak kami
temukan. Sidang “isbat” lagi. Akhirnya kami memutuskan mendirikan tenda di
sekitar area pertambangan. Shalat berjamaah, masak, ngopi, melihat lampu-lampu,
lalu tidur di bawah cahaya bulan. Kebetulan malam itu adalah malam bulan
purnama. Saya jadi membayangkan srigala, saya jadi ingat pesan “jangan bicara
kasar dan jangan bertanya menggunaan kata jalan” dari Pak Tua. Tapi justru
karenanya saya jadi berbisik, pada sleeping bag, “anjing, dingin sekali”. Dan
bertanya, entah kepada apa, entah pada siapa, “yang manakah jalan kebenaran,
jalan keselamatan dari agama yang telah terpecah-pecah menjadi beberapa
golongan ini?”
(10)
09.00 wib kurang lebih. Kami mengisi air di Curug
Citiis. Sumber air terakhir sebelum mendaki. Curug yang ternyata lumayan dekat
dan terlihat dari tempat kami mendirikan tenda: Area pertambangan yang
mengerikan. Saya jadi membayangkan manusia-manusia yang melahap gunung demi
gunung, mengunyah batu satu-persatu, lalu meneguk gundukan pasir sampai butir-butir
terakhir.
Gunung Guntur terlihat gersang, hanya ada beberapa
pohon pinus yang bisa terhitung (jika
kamu mau menghitung). Selebihnya hanya kerikil, batu dan pasir, dan sehampar
ilalang berwarna coklat menyala terkena sinar matahari.
2.249 mdpl dengan perkiraan waktu tempuh 4-5 jam
yang saya anggap enteng, ternyata di luar dugaan dan jauh melenceng. Kamu bisa
membayangkan jalur yang terus menanjak, berdebu, penuh kerikil rawan yang mampu
membuatmu meragukan kuatnya pijakan kakimu sendiri. Ditambah terik matahari. Ditambah
tak ada tempat yang teduh. Saya jadi membayangkan Padang Mahsyar yang tak
terbayangkan. Tempat kelak manusia-manusia dikumpulkan, berhimpit-himpit,
berdesak-desak, di mana jarak matahari dengan kepala teramat sangat dekat.
Hari-hari naas yang teramat panas. Di mana hanya ada beberapa golongan manusia
yang mendapat naunganNya. Semoga kita termasuk di antara golongan tersebut.
Amin...
(11)
Saya mulai belajar, “2.249 mdpl boleh kamu anggap
enteng, tapi mulai sekarang kamu juga harus memperhitungkan derajat kemiringan!
Dasar bodoh!”
(12)
Lelah. Dan beberapa kali istirah...
Setiap berhenti selalu bikin kopi...
(13)
Ikbal tidur. Masuk dzuhur. Melihat Firman tayamum. Jadi debu...
(14)
Memutuskan melanjutkan pendakian setelah Ashar.
Membayangkan diri termasuk golongan yang celaka kelak di Padang Mahsyar.
(15)
Kamu dekat
Tapi aku tak sampai-sampai.
(16)
Dan malam sampai.
Melihat kembali lampu-lampu
Dan barangkali kamu
Di situ
Di perasaan
Kasih yang tak sampai.
(17)
Angin memukul-mukul tenda
Dan ranting-ranting cantigi
Ochay membangun api
Ikbal selesma
Firman shalat
Saya tak ada.
(18)
Melihat handphone. Sial, ternyata masih terjangkau signal!
Menengok facebook sebentar. Sial, kenapa jadi selalu ingin melihat profil facebook perempuan ini!
(19)
“Apa susahnya sih membakar sampah bekas
bungkus makanan atau minumanmu sendiri? Baiklah, kali ini saya akan membakar
sampahnya. Tapi lain kali saya akan membakar orangnya! Pecinta Alam memang
omong kosong!”
Tentang sampah, saya pikir, ada beberapa kesamaan
dengan apa yang dikatakan Pak Tua
di awal, kata yang kerap
dihubung-hubungkan dengan semacam mitos,
“Kalau di gunung itu gak boleh bicara kasar, nanti bla...bla...bla...”
Setelah itu tentu akan jadi timbul pertanyaan: Membuang
sampah sembarangan dan bicara kasar itu apakah jadi hanya tidak boleh dilakukan
ketika berada di suatu tempat saja?
Itulah kenapa saya membagi pendaki-pendaki sampah itu
menjadi beberapa kategori:
- Ada pendaki yang di gunung, di rumah, atau dimanapun
lingkungannya ia terbiasa buang sampah sembarangan.
- Ada pendaki yang dimanapun ia tak membuang sampah
sembarangan.
- Kemudian ada juga pendaki, yang ketika di gunung ia
betul-betul tidak buang sampah sembarangan, tapi ketika berada di luar itu, ia membuang sampah sembarangan. Untuk
kategori yang ini, saya pikir, adalah ia adalah tipe pendaki yang menganut
kata-kata di atas,
“kalau di gunung itu gak boleh buang sampah sembarangan...”
Perjalanan turun tak kalah gila. Derajat kemiringan
ditambah jalur dengan tumpukan kerikil yang licin membuat si Ochay harus kakarayapan, sosorosodan, dan keketeyepan.
Saya sendiri sampai memilih kukurusukan
membuat jalur baru di tengah padang ilalang. Kadang terlalu melenceng, hingga membuat saya
harus kembali ke jalur semula, yang benar.
Perjalanan turun memang selalu lebih cepat. Kami
harus mengejar shalat Jumat.
(22)
+
Apa yang kamu dapat dari mendaki gunung?
-
Saya tidak tahu. Lagi pula apa memang harus mendapatkan sesuatu?
Jamanis 2013
Jamanis 2013
Langit Biru |
Curug Citiis |
Titik GPS Gunung Guntur (Ikbal, Ochay, Firman) |
Sekitar Area Penambangan (Ikbal, Ochay, Firman) |
Ilalang |
Merayap |
Di Seberang Cikuray Sunrise |