Kamis, 27 Februari 2014

Tentang Seseorang yang Memaafkan Tuhan



Jun Nizami

Tentang Seseorang yang Memaafkan Tuhan


Pada mulanya mungkin memang kata, kemudian
Waktu bercerita...

I

Ada seseorang menghadap pada pagi,
Pada mula hari. Menyambut kabut yang datang,
Memandang sungai yang pergi, seraya bernyanyi,
Tentang hidup, sebagai sebuah melodi
Yang muskil dimengerti:

Kalau saja saya tak ada, Embun, Daun-daun cantigi.
Tuhan, bunga-bunga, tentu tak ada.

Tetapi nyanyi akan berhenti, dan kabut pergi.
Putih yang terhapus. Langit yang misterius.
Lanskap demi lanskap yang tersingkap, dan ia mengerti
Ia takkan pernah mengerti:

Tuhanku, alangkah lengkap, keberadaan dan keabadian
Begini menyekap

Apakah Kun untuk sesuatu yang takkan ada?

II

Tetapi hidup adalah igauan panjang, yang ia pikir, mungkin,
Tak mesti ia mengerti; Bagaimana Tuhan memerintah;
Gugusan bintang yang indah; Bulan yang berputar
Sesuai manzilah; Dan bagaimana manusia pertama,
Yang pasrah –diutus, dari galaksi yang entah.

III

Ia teringat pada sepotong percakapan:

-         Tak ada yang tak mungkin untuk Tuhan, Anak Muda!

+        Kita terlanjur ada. Lalu mungkinkah Ia bisa membuat
          Kita jadi tak pernah ada. Tak pernah ada, Pak Tua?

IV

Ya, ia akhirnya jadi teringat juga pada seorang Pak Tua,
Suatu ketika,  dengan sebuah nasihat, yang telah tua pula,

"Tak ada pilihan, selalu, selain memaafkan
Dan berdamai dengan dirimu."

Ia jadi waswas, karena tahu, ada waktu –yang waktu itu
Membuat nasihat-nasihat semacam itu menjadi terasa
Naif lagi lucu.

"Saya kira, Pak Tua," ucapnya, "selalu ada dua
Pilihan yang tersedia: Yang pertama, pilih pilihan yang kedua.
Yang kedua, pilih pilihan yang pertama." Mengejek sebenarnya.

Meski memang, akhirnya, bertahun-tahun kemudian,
Ia (barangkali terpaksa) percaya, berkata,

"Telah kuterima diriku, sebagaimana daun-daun
Menerima embun. Jendela menerima pagi. Telah kuterima
keberadaanku: Kutukan. Telah kumaafkan Tuhan."

V

Tetapi segalanya akan berhenti, dan kabut pergi.
Putih yang terhapus. Langit yang misterius.
Lanskap demi lanskap yang tersingkap, dan ia mengerti
Ia takkan pernah mengerti:

Tetapi selalu terdengar seseorang berseru
Dari dalam tubuhku, seperti dalam Matius,
Dari luka-luka Kristus:

Tuhanku, Tuhanku, kenapa Kamu mempermainkanku?