Jumat, 16 November 2012

Amul Huzni


Jun Nizami

Amul Huzni

-kepada Muhammad Ibn Abdullah

                                      Ya Munji, fil taksyifi zhulamiz zamani
                                    Anta syamsun anta badrun. Anta Nabi
                                  Anta nurun fawqa nuri*
                              
Wahai Engkau yang cemerlang
Demi cahaya pagi. Adalah parasmu
Adalah Engkau pembawa kabar
Adalah selubungmu yang berwarna
Batu ambar. Demi zaman. Hari-hari malam
Aku menjadi Hira menjadi Tsur
Menjadi seluruh goa yang merindukan nur

Fahtazzal ‘arsyu tharaban was-tibsyâra
Waz-dâdal kursiyyu haibatan wa waqâra**

Wahai Engkau, yang bagai telah bercelak mata
Dalam miskatmu, seluruh malaikat bershalawat
Miladuka, gegap-gempita. Berhala-berhala
Tumbang, api sesembahan padam. Dan Eufrat
Seperti mengalir dari luka yang dalam

Junjunganku, demi gunung emas yang
Menawarkan diri. Adalah lembar dari sirahmu
Bulan terbelah. Adalah batas dari kainmu
O padang zuhud itu

Sepanjang Burdah. Sepanjang Hadhramaut
Demi zaman, yang telah merenggut cahaya
Dari mataku. Tetapi adakah yang lebih kelam
Tinimbang Almaut, Wahai Lelaki, yang telah
Berselimut

Ya Mustafa, seberapa kelamkah kehilangan
Tinimbang persemayaman; Tanah Yatsrib
Tinimbang kedalaman Laut Yaman
Demi zaman dan segenap ketersesatan
Adalah persimpangan. Adalah jarak kita
Menyamarkan ribuan arah sunah dan bid’ah
Di mana aku kehilangan lentera

Wahai Engkau yang cemerlang
Demi malam dan segenap kehilangan
Kesedihan seperti juga rindu
Yang bertahun-tahun telah menjadi pakaianku

Maa min nabiyyin illaa wa qad an’dara
Ummatahul a’waral kaddaa-ba***

Demi zaman, adalah peringatan
Adalah nyala-redup iman
Adalah dunia yang telah uzur
Sementara tubuh terpecah
Sementara Fitnah telah terbit
Telah terbit dari timur

Ya Nabi, nestapa hari-hari malam, adalah
Betapa kehilangan Kau. Dan Menjadi Hira
dan menjadi Tsur. Dan menjadi seluruh goa
Yang tak henti-henti kembali merindukan nur

2012

*) Dari Kasidah Barjanzi.
**) Dari Kasidah Diba’i
***) HR Bukhari-Muslim

Jumat, 19 Oktober 2012

Meletakkan Kepala di Atas Meja




Jun Nizami

Meletakkan Kepala di Atas Meja *

                                            -el

Seperti ingatanku kepadamu, sungai ini memanjang dari
dan melewati hutan dalam tahun-tahun yang terbakar.
Dadaku tak henti berkobar, tempat luka menghimpun tangis
dan riuh taifun memburuku laksana kenangan.
Selalu ke dalam sunyi, aku mengungsi dari badai diri sendiri.
Maka ingin kupahami kebuntuan, seperti menelusur alamatmu
tanpa sedikit pun --kepada siapa pun mengajukan pertanyaan

Seperti kebisuanku, malam terasa lebih kekal dari lenganku
yang kerap gemetar, isi kepala dan beberapa lembar sajak
yang hambar. Aku menulismu, tapi selalu kusaksikan
perahu-perahu terbalik dari ujung kerudungmu, Hapsah.
Seakan menghadiri pernikahan antara kesedih dan
kegembiraan yang sah. Aku pelayar, yang mengarungi
kemurungan demi kemurungan. Dan secangkir teh yang
kerap tumpah dari tanganku, kemudian menjelma laut
di mata seekor semut. Sedih dan kuyup. Kucintai kesendirian,
sebagaimana aku selalu berhasil mencari alasan bagi setiap
kehilangan:

-- Kau akan lebih abadi, sebab itulah aku lebih memilih
mengenang ketimbang memenjarakanmu di sisiku

-- Seperti hamparan lampu-lampu itu yang lebih terlihat
indah dari kejauhan, kau betapa nampak  lebih bercahaya
dalam kenangan

Seperti riwayat Homer yang terus berjalan, yang membacakan
puisinya di setiap alun-alun kota. Barangkali sebenarnya
kau adalah rahasia yang terbuka, ketika kupilih memahamimu
sebagai teka-teki, jalan gairah untuk terus mengembara.
Kutulis kesedihan sepanjang trotoar, lantas kubakar.
Aku melupakanmu dengan menyeru-nyeru nama ibu
yang menempuh abad-abad dengan rasa sakit yang berat,
menjadi salah satu dari jutaan anak yang mewarisi tabiatnya
yang agak suka memberontak. Menasehati bapak --menjadi
demonstran lantas membakar ban, sambil mengacungkan
jari tengah ke segala arah, ke seluruh sarang tikus yang berdiri
dengan angkuh dan megah

Tapi Hapsah, betapa seruanku terlalu rendah untuk cinta,
juga mendebat Zeus di puncak Ida. Tidak seperti kesedih dan
kegembiraan, tapi barangkali rindu dan ingatan diciptakan
Tuhan di waktu bersamaan. Maka keduanya selalu ingin aku
ungkapkan:

-- Kekasihku, kenapa gunung nampak begitu biru jika terlihat
dari jauh, dan di luar ingatan kenapa kau selalu nampak mustahil
untukku tempuh?

-- Di ingatanku, tapi jika melupakan merupakan sebuah
kemustahilan, maka akan terus aku mengingatmu, aku akan
terus mengingatmu. Hingga ingatan itu sampai di batas
kewalahan, atau bahkan melampaui batas-batas yang telah
kuperkirakan

Kekasihku, lantas kesendirian ini telah aku tafsir, sebelah
tanganku yang ditepuk sepi ialah genap, tapi jika ditepuk
cintamu adalah ganjil. Maka genaplah malamku sebagai belantara,
melancholia, dan keluasan gurun insomnia. Meski kerap di dalam
jaga, kumimpikan sebuah kota, puluhan truk yang mengangkut
takdir, dan seorang perampok yang tengah mengetuk jendela taxi
sepenuh cinta. Dan kau, yang melulu mendatangi kesendirianku
sambil berbisik “Soledad De Morena”, betapa seperti Euphrosyne
yang lungsur diliput cahaya, mengecupku, yang tengah meletakkan
kepala di atas meja.

2011

* dari Lukisan Acep Zamzam Noor

Sumber: Buku Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan Indonesia-IV)

Selasa, 28 Agustus 2012

Puisi-puisi Jun Nizami (Kompas, 29 Juli 2012)

Meninggalkan Kie Raha

                       To Madadi Anting-anting
                      To Mawele se Ni Ngau,
                     To Madadi Ngofa Yau
                    To Malule se Ni Nyiho

Atau kaukah Janiba, bagi rusuk Samad
Yang hancur. Sofi Sado Sone,
Hikayat yang kekal dalam kubur

Hamsilana, Maitara di seberang pandang
Sedang engkau di pelupuk kenang
Menegaskan bayang-bayang
Menegaskan jarak yang membentang

Foheka, menuju entah kapal-kapal
Berangkat. Di dermaga pula kapal-kapal
Merapat. Sedang kakiku, masih jua terasa
Berat

Foheka, Bandar Udara Babullah
Atau matakukah yang berkabut

Pulau-pulau menyusut, sepanjang
Perjalananku menyongsong maut.
Meninggalkanmu. Ribuan kilometer
Di atas permukaan laut

Tetapi seperti pula suaramu
Ingatanku bersenandung di situ:

Ku menjadi anting-anting
Ku menggantung di telingamu,
Ku menjadi seorang bayi,
Ku tertidur di pangkuanmu

2011



Ziarah

Akulah Eufrat, airmata
Sepanjang Mesopotamia yang terluka
Juga Tigris, wahai Muharram merdu
Bagi Babylon yang habis jadi debu

Minumlah darah dari tubuhku
O Karbala yang dahaga
Sebab setiap kepala yang dilarungsungai
Dari beribu batang leher yang terpenggal
Mestinya adalah bahasa
Sejarah yang ganas
Anggur cinta yang keras

Maka tenggaklah sabda dari huluhilir ziarahku ya Hurairah:
Akan terbunuhlah 99 dari tiap 100 orang yang berperang itu
Darah yang pasang, di tubuh airku yang surut

2011



Arumi Sedang Mengetik

Dari jam dinding itu, detik-detik runtuh pada punggungmu
Secangkir kopi di atas meja, dan daun-daun yang jatuh pada
Beranda. Arumi sedang mengetik, barangkali menulis puisi
Atau menyelesaikan paragraf  kelima dari sebuah surat cinta

Dari almanak-almanak tua, tanggal-tanggal luruh begitu saja
Ketika dalam jauh, angin menyisir sebuah pasar malam yang
Sibuk. Dan seorang anak kecil gemetar, menyaksikan komidi
Putar yang terbakar. Sementara aku menghalau kantuk
Sepanjang jalan, di dalam kereta, yang tujuan dan jadwal
Keberangkatannya aku lupakan

Arumi terus mengetik, sementara aku sebagai kata-kata yang
Kerap gagal ia baca. Malam semakin larut, sementara waktu begitu
Rahasia. Seperti mata begitu juga cinta yang tak letih-letih untuk
Terjaga: dalam dada dalam bising, juga telinga dengan
Pendengaran masing-masing: mengkhidmati tembang mijil
Juga himne maut yang dinyanyikan seseorang di atas genting

2011



Rabu, 13 Juni 2012

Rhythm of Skepticism

  Rhythm of  Skepticism

                                                  Oleh Jun Nizami

             

Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
Mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin

(Goenawan Mohamad, Pada Sebuah Pantai: Interlude)

(1)

Suatu ketika, di sebuah hari yang tak ada, seseorang bertanya pada kekasihnya: “Apakah yang tak mungkin, Kekasihku? Jika segalanya serba mungkin, dengan begitu, maka bukankah tak mungkin ada yang tak mungkin itu?

Pertanyaan semacam ini, saya tahu, barangkali terdengar begitu sia-sia, barangkali juga tidak. Barangkali seperti juga hidup, yang mungkin sia-sia, mungkin juga tidak. Dan tentang sesuatu yang menyangkut kesia-siaan, suatu ketika, di sebuah hari yang juga tak ada, seseorang pernah berkata dengan segenap kepercayaannya: “Tak ada satu hal pun yang sia-sia,” katanya, kepada seseorang lain yang kemudian berkata: “Lantas untuk apa kata sia-sia ada? Jika begitu, maka bukankah sia-sia sekali kata sia-sia itu sendiri?”

“Apakah yang tak mungkin itu, Kekasihku?” Seorang kekasih mengulang kembali pertanyaannya. “Mungkin, Laila,” jawab kekasihnya,”yang mungkin tak mungkin itu ialah penghapusan kita, ketiadaan atau ketakpernah-beradaan kita.”

(2)

-          Tak ada yang tak mungkin untuk Tuhan, anak muda!

+    Kita terlanjur ada. Lalu mungkinkah Ia bisa membuat kita jadi tak
pernah ada. Tak pernah ada, pak tua?

(3)

Waktu itu menjelang malam ketika saya sampai di puncak Cikuray. Gunung yang barangkali benar, sebagai gunung tertinggi keempat di Provinsi Jawa Barat. Dan setiap kali mendaki, dengan riang, sedikit murung, biasanya saya bersenandung: Naik-naik ke puncak gunung, ketemu filsuf yang bingung. Saya lantas teringat Gie, atau barangkali lebih tepat teringat puisi terakhir yang diakhirinya dengan kalimat –yang barangkali pula hasil perkelahiannnya dengan kesangsian-kesangsiannya sendiri:

Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa

Udara semakin dingin waktu itu, dan saya menanti sunrise. Bibir saya pecah-pecah seperti pula pikiran confuse dan skeptis. Saya membakar rokok lantas berpikir: Saya membakar sesuatu yang saya beli, barangkali bodoh sekali. Saya mendaki, meski pada akhirnya saya akan turun lagi, barangkali sia-sia sekali. Aneh sekali. Seperti puisi, barangkali.

Ya, selain mendaki, satu hal yang juga kadang saya lakukan ialah menulis puisi. Dan kesangsian (suatu hal yang menyebabkan, atau barangkali juga disebabkan. Melahirkan, atau barangkali juga dilahirkan), saya selalu percaya, bahwa ia adalah unsur yang kerap terlibat dalam puisi, atau barangkali menjadi sesuatu yang tak bisa dipisahkan, atau barangkali  justru menjadi unsur fundamen dari (atau bagi?) puisi itu sendiri.

Maka dengan begitu, saya hendak percaya bahwa seorang penyair bukanlah seorang propagandis yang tengah menyampaikan dogma: “Puisi itu ‘harusnya’ membuat bening hati nurani.” –tapi saya sangsi. Ia, dalam pembayangan saya ialah yang melulu sangsi, bertanya, dan mencari. Ia seseorang yang menyanyikan hasrat ataupun harapan, keriangan ataupun kesedihan. Ia, seseorang yang optimis ataupun pesimistis, yang menyanyikan perahu oleng, pertanyaan demi pertanyaan, kesantunan ataupun kebencian, juga menyanyikan cinta maupun dendam.

Ia seorang pencari yang akan terus mencari. Ia seorang pencari yang takkan pernah berhenti mencari. Betapa ia yang sekaligus tahu, bahwa menemukan bukanlah takdir bagi seorang pencari. Sebab dengan rasa sangsi, barangkali, maka akan lebih banyak hal yang dapat ia gali, dari yang kita sebut kefanaan ini.

Saya teringat penggalan puisi Sulaiman Djaya yang berjudul Kiasan Penyair:

Seorang penyair, cintaku, adalah seekor kelelawar malam
Terbang dan bimbang di antara terang bulan dan kegelapan
Ia mencari segala yang tak mungkin ia dapati dan sia-sia

Maka tak terlalu penting sebenarnya menanggapi pernyataan: “Aku bukan penyair.” Atau, “Aku penyair.” Saya lantas jadi teringat pernyataan seorang teman yang juga menulis puisi dan menyatakan: “Aku bukan penyair,” katanya, berulangkali menegaskan pada saya. Terdengar benar-benar ingin agar tak disebut penyair, ya, terdengar benar-benar ingin agar disebut penyair.

-Jika sebutan penyair itu terkesan mulia bagimu, memang semulia apa itu? Dan jika terkesan buruk, seburuk apa pula itu?



(4)

Lantas izinkan saya menutip penggalan puisi Cecep Syamsul Hari yang berjudul Efrosina ini:

Aku terikat di tempatku
Para filsuf menyebutnya dunia
Aku menyebutnya penjara
Atau puisi atau jalusi musim semi

Lalu mengutip Paul Valery: Puisi adalah bimbang yang tak putus-putus antara bunyi dan arti. Lalu Carlyle: Puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal.

Dan sebagai seseorang yang suka membaca puisi (jangan, jangan membayangkan seseorang yang tengah membaca puisi di atas panggung), saya tidak  termasuk orang yang memilih-milih puisi dari segi bentuk untuk dibaca. Saya selalu menyerahkan diri pada apapun yang sedang saya baca, termasuk puisi. Yang terpenting bagi saya, pertama-tama, ialah sejauh mana ia (puisi itu) dapat membuat saya merasa terseret ke dalam irama dan suasana yang dibangun dan dinyanyikannnya. Sejauh mana ia membuat saya tiba-tiba mendapati diri telah tersesat dalam keindahan efek musikal yang terus disenandungkannya. Sebab inilah yang bagi saya, yang menjadi letak kekuatan sebuah puisi atau sajak. Ringkasnya, sekuat apa ia ‘meminta’ saya untuk terus membaca musiknya, yang pada akhirnya, sekuat atau selama apakah ia dapat bergema, hingga membuat saya ikhlas dengan sendirinya membiarkan ia tinggal di dalam diri saya, selamanya.

De la musique avant tout chose,” kata Paul Verlaine suatu ketika. Atau, “musiklah yang paling utama dalam puisi.” Dan sebelum membaca ungkapan penyair simbolis Prancis ini, telah lama saya percaya bahwa memang musiklah yang selalu saya percaya sebagai unsur terbesar dalam proses pembentukan sebuah puisi atau sajak.

“Kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik,” kata Carlyle, yang kali ini membuat saya berpendapat agak sedikit berbeda.  Bagi saya, musiklah yang justru menggerakkan intuisi si penyair untuk menyusun kata-kata yang pada akhirnya frasa, kalimat,  tifografi, bait, dll, dengan begitu rupa. Ialah yang mendampingi selagi si penyair kesepian, selagi si penyair menghayati pengalaman puitik, dan selagi si penyair menuliskan puisinya. Bagi saya, kata-kata ialah laiknya sebuah tubuh bagi not atau titinada atau bunyi untuk mengungkapkan ataupun mewujudkan dirinya.

“Pada mulanya adalah kata-kata. Padanya, lalu ditiupkanlah nada yang telah diciptakan Tuhan sebelumnya,” gumam saya, iseng sendiri.

Dan demikian, unsur musiklah yang juga saya percaya, membuat suasana sebuah puisi selaras lagi terjaga. Dan seberapa kuat unsur musik yang mengalir dalam diri si penyairlah, yang bagi saya menjadi penentu seberapa tepatkah kata-kata, kalimat-kalimat yang digunakan dan juga disusunnya. Seberapa tepat dan selaras untuk membuatnya tidak menjadi fals. Dan seberapa mengalir, tentu agar tak ada kata-kata yang dalam sebuah puisi merasa dirinya terkucil atau mubazir.

(5)

Selain untuk menulis dan membaca, cukup sering saya menghabiskan malam untuk melamun. Biasanya di sudut sebuah alun-alun, di Ciawi, yang cukup dekat dengan lintasan kereta api. Kecamatan yang terletak di sebelah utara, di Kabupaten Tasikmalaya. Yang dari coretan di pintu-pintu toko dan dinding-dindingnya dapat saya simpulkan, bahwa selain ditumbuhi sepi (atau justru karena sepi?) wilayah ini pun ditumbuhi teror, ditumbuhi berbagai nama geng motor.

Setelah agak larut malam, setelah habis kopi, biasanya saya kemudian memesan nasi goreng pada seorang pedagang yang di warungnya tengah memutar lagu Evie Tamala. Penyanyi dangdut, yang jika saja dulu Tuhan menghendaki suara adalah sesuatu yang kasat mata, maka saya percaya, bahwa suaranya adalah pendaran cahaya. Seperti sehampar lampu di kaki-kaki bukit, yang nampak lebih indah jika terlihat dari jauh.

Pada pukul 22:13 wib, biasanya kerap terdengar senandung kereta yang tengah melintas, menuju timur. Entah akan ke mana tepatnya, dan entah apa maknanya. Seperti puisi-puisi yang pernah saya baca dan melintas kembali, barangkali. Apa pun maknanya, tak menjadi sesuatu yang terlalu penting lagi bagi saya, apakah ia membawa makna atau tak, atau dari puisi yang saya baca itu saya dapat menangkap atau memahami maknanya (jika ia memang membawa makna) atau tak. Maka izinkan saya lagi untuk mengutip bait terakhir dari puisi Pada Sebuah Pantai: Interlude ini:

Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang,
lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana
–apa pun maknanya.

Yang dalam pembacaan saya mengenai baris terakhir: Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana (--sekalipun maknanya: tak bermakna apa-apa)

Dan demikianlah, bagi saya, mencintai puisi ialah berarti mencintai sesuatu yang sia-sia sekaligus tidak, yang barangkali dan yang sangsi. Yang entah, yang kokoh namun juga sekaligus goyah. Seperti mengkhidmati senandung kereta api yang semakin menjauh itu, barangkali. Yang memasuki lubuk malam, melintasi kota-kota sunyi, dan barangkali, terus menempuh barangkali demi barangkali.                                                                                                  


                                                                   



                                                                                                                                             Jamanis, 2012



(Radar Tasikmalaya, 03 Juni 2012)

Selasa, 29 Mei 2012

Puisi-puisi Jun Nizami (Pikiran Rakyat, 27 Mei 2012)

Dalam Musim, Tahun-tahun
Memilih Mukim

1

Kutemukan tahun-tahun sepi di matamu
Di dadaku, daun-daun gugur berabad-abad
Dalam Kun dan awal pernyataan cintamu
Lantas kupikul langit-bumi yang berat

2

Yara memesan hujan
Kaula meminta kemarau
Berdua menulis angan
Angan mencipta Engkau

3

Yang mengecupmu sebagai musim panas
Akhirnya mengenalkan pada kau musim dingin
Garis tangan, dan seluruh mitos hari yang naas
Hendak mengajarkan pada kau ikhlas ingin
Isyarat angin

2011



Nota Elegia II

akhirnya, laila, tuhan menciptakan
langit baru untukku. pecinta yang
kekal. musafir tanpa bekal

mencarimulah kesedih sekaligus
kegembiraan itu. dengan tubuh yang
haus, yang hangus. memeluk takdir
yang getir, yang tandus

sepanjang gurun pasir, menjadi penyair
seseorang yang fakir lagi kerapkali terusir.
yang tak henti berseru, selalu, memanggil-
manggil namamu:

laila, laila, laila,
aku sahaya,
aku majenun
yang kehilangan cahaya

2011-2012



Memotong Rambut

Memotong rambut, mugia terpotong pula segala duka
yang merambati batang usia. Membuntuti tahun-
tahun sepi. Hari-hari naas, seperti pula kesedih dan
kegelisahan yang seperti abadi

Daun-daun luruh. Kusaksikan helai demi helai puisi
sedih terjatuh

Memotong rambut, mengharap gerbang musim cinta
kembali terbuka. Taman-taman dipenuhi bunga,
di mana seratus harapan, seperti pula sehampar mawar
yang tengah tumbuh di dalamnya

Taman-taman diisi warna ceria, berbagai mimpi indah
dan fantasi, di mana sungai selalu jernih, dan bidadari
berselendang pelangi, kerap lungsur untuk mengecup
bumi yang terluka ini

Daun-daun luruh. Kusaksikan helai demi helai puisi
sedih terjatuh

Memotong rambut, mengharap gerbang musim cinta
kembali terbuka. Taman-taman dipenuhi bunga, diisi
warna-warna yang ceria, di mana sajak seperti pula
kegembiraan anak-anak yang kekal di dalamnya.
Bermain dan menari. Melantunkan gitanjali,
bersama para peri yang baik hati

Daun-daun luruh. Rumput-rumput bersimpuh.
Sehampar mawar kusaksikan, seperti pula seratus
harapan yang bercahaya dan bermekaran

2010

(Pikiran Rakyat, 27 Mei 2012)

Kamis, 23 Februari 2012

Nota Elegia

Jun Nizami

Nota Elegia

Cenah cinta téh haleuang déwa geuning, Hapsah
Nu jadi rukmi, na hiji-hijina dada kami
Nu teu eureun motah, na hiji-hijina ieu sirah

Jungjunan, alamat hiji-hijina duriat
Muru anjeun kuring ngaléngkah
Tapi sapapanjang jalan, bet baloboran getih
Ieu peurih

Cimata tuluy ngamalir, milang ringkang
Ngajirim walungan, nu teras meuntas ka saban-saban
impian

2010