LOMBA BACA PUISI SANGGAR SASTRA TASIK (LBP-SST) SE-JAWA BARAT 2013
Setelah
absen di tahun 2012, Sanggar Sastra Tasik (SST) kembali akan
menyelenggarakan Lomba Baca Puisi se-Jawa Barat 2013. Tahun ini lomba
akan dilaksanakan di Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) Jl. Lingkar
Dadaha No. 18,5, Dadaha - Kota Tasikmalaya.
TENTANG PERLOMBAAAN
Lomba
terbuka untuk umum usia 17 tahun ke atas dengan persyaratan sebagai
berikut: Warga Negara Indonesia atau WNI Keturunan, berdomisili di Jawa
Barat atau di manapun di Indonesia namun lahir di Jawa Barat yang
dibuktikan dengan fotokopi KTP atau identitas lainnya.
Calon
peserta mendaftar langsung ke tempat-tempat pendaftaran yang telah
ditentukan, mengisi formulir pendaftaran, serta membayar biaya
administrasi sebesar Rp. 35.000,00 (tiga puluh lima ribu rupiah).
Waktu Pendaftaran yakni 1 April 2013 – 9 Mei 2013 (Teknikal Meeting 9 Mei 2013 Jam : 14.00 WIB - Selesai di Gedung Kesenian Tasikmalaya).
Untuk
peserta yang berdomisili di luar alamat sekretariat pendaftaran yang
tercantum di bawah, dapat mendaftarkan diri ke tempat pendaftaran
terdekat.
-
TASIKMALAYA :
Sekretariat Sanggar Sastra Tasik (
SST) Jl. Argasari No. 22
Juni Zami (083826590088)
AriefRidwan Efendi (081222899786),
Diana Cahya Alam (087826636020) Universitas Siliwangi,
Ricky Komara Putra (085223390068) Universitas Siliwangi,
Widya W.S. (085223003841) Aksara UPI Kampus Tasikmalaya
- CIAMIS :
Kidung Purnama (081320797616) SMA Negeri 1 Ciamis,
Dienar Siti Fauziah (087725435100) Universitas Galuh
- BANDUNG :
ZulkifliSongyanan (085659282090) Arena Studi dan
Apresiasi Sastra-UPI (ASAS-UPI,
Matdon (081395155000) Majelis Sastra Bandung (MSB)
- CIREBON :
WahyudiYuli (085724556528) Komunitas Rumah Kertas
- MAJALENGKA :
Diah Rosdiana,Blok Kenanga RT 7 RW 04, Desa/Kec. Panyingkiran, Kab.Majalengka (081222155512)
- CIANJUR :
Ucup Waras (085793926998) Warung Sastra – Universitas
SuryaKencana Cianjur
- GARUT :
NeroTaopik Abdillah (081323460864) Komunitas Ngejah,
Didi Rahman,
Fachroe (082121844927) Poss Theatron,
Suta (Teater Sado - STKIP Garut)
TEKNIS PERLOMBAAN
Peserta
memilih dua judul puisi yang telah disediakan panitia dalam bentuk
Antologi Puisi Lomba yang bisa diperoleh saat mendaftar, satu judul
puisi dibacakan pada Babak Penyisihan, dan satu judul yang lainnya
dibacakan pada Babak Final jika peserta bersangkutan berhasil masuk
Final. Jadi, baik di Babak Penyisihan maupun di Final, peserta hanya
membacakan satu buah puisi yang berbeda.
Adapun puisi-puisi yang wajib dibawakan peserta tersebut antara lain:
1. Hanna Fransisca
PADA SUATU HARI
2. Yusran Arifin
GAUN BORDIR
3. Joko Pinurbo
KALVARI
4. Taufiq Ismail AKU BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI
5. Rendra DI MEJA MAKAN
6. Sutardji Calzoum Bachri PARA PEMINUM
7. Acep Zamzam Noor LAGU BULAN MEI
8. Sarabunis Mubarok TULISAN PADA PETA
9. Irvan Mulyadie PALESTINA, MELANGGAM LUKA
10. Juni Zami AN AFTERNOON
11. Juniarso Ridwan LAUT MENDERA
12. Syahreza Faisal DALEM CIKUNDUL
13. Bode Riswandi BUAT ANNA POLITKOVSKAYA
14. Nina Minareli LUKISAN LAUT
15. Nazarudin Azhar NOCTURNO, 2
16. Amang Berdaulat PESTA TABUR BUNGA
Pengantar Lomba:
SEBUAH UPAYA MEMBUMIKAN PUISI
LOMBA
Baca Puisi Sanggar Sastra Tasik (SST) dimaksudkan untuk lebih
membumikan puisi ke tengah-tengah masyarakat. Upaya ini merupakan sebuah
komitmen yang tetap dipegang teguh oleh SST sejak permulaan berdirinya
pada paruh akhir tahun 1996 silam. SST merupakan satu-satunya komunitas
sastra di Tasikmalaya yang secara khusus bergelut di bidang sastra,
terutama puisi. Meski tidak secara khusus menggarap pelatihan baca puisi
– sebab lebih cenderung menjadi laboratorium penulisan puisi bagi para
peminat serius untuk menulis puisi, SST berkepentingan untuk memetakan
bibit-bibit pembaca puisi yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan
untuk itu adalah dengan penyelenggaraan lomba seperti ini.
Kami
melihat, selalu ada hal yang menarik dari kegiatan lomba seperti ini.
Betapa di tengah-tengah “terasingnya” puisi bagi sebagian besar
masyarakat kita, ternyata selalu saja terdapat pembaca puisi yang baik
bahkan sangat baik, yang – tidak saja mampu memperlihatkan interpretasi
yang benar terhadap teks puisi yang dibacanya, melainkan juga mampu
menyajikan ekspresi dan gaya pembacaan yang memikat ketika tampil di
atas pentas lomba. Hingga karenanya, puisi terasa hidup dan sangat
menarik.
Secara teks, puisi memang hanyalah benda mati yang
mungkin sulit untuk dipahami atau dinikmati oleh sebagian besar orang.
Maka tugas pembaca puisilah untuk menghidupkan dan menyampaikan
pesan-pesan/makna yang terkandung di dalamnya kepada pendengar atau
penonton.
Lewat pembacaan yang baik, puisi seolah menjadi benda
hidup dan pentas baca puisi tentunya menjadi tontonan yang asyik dan
nikmat untuk disimak. Lebih dari pertunjukan dangdut atau musik pop,
umpamanya, menikmati pertunjukan baca puisi malah sangat kontemplatif
dan bahkan cukup inspiratif jadinya. Pada gilirannya, mentalitas dan
ruhani kitapun akan tercerahkan dibuatnya. Di sinilah letak efektivitas
Lomba Baca Puisi sebagai media sosialisasi, di mana hal ini akan mampu
memancing perhatian orang, yang awam sekalipun, untuk bisa tertarik
lebih jauh kepada puisi. Maka jika kegiatan semacam ini banyak
diselenggarakan oleh banyak kalangan secara terus-menerus, bisa jadi
katup “alienasi” puisi dalam kehidupan masyarakat kita, perlahan namun
pasti, akan terbuka dengan sendirinya. Itulah barangkali yang senantiasa
dimimpikan oleh Sanggar Sastra Tasik atau mungkin oleh kita semua.
Lewat
Lomba Baca Puisi, kita bisa mengaji tradisi dan mencerahkan hati. Ah,
semoga saja ini tidak sekedar sebuah obsesi atau mimpi, apalagi janji,
sebab kami bukan politisi yang kerjanya cuma bisa menebar janji tanpa
bukti. Sehingga, bisa jadi benar bahwa ketika keadaan politik suatu
negara kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya. Demikian
sebagaimana yang, konon, pernah dikatakan oleh John F. Kennedy.
Selamat berlomba. Merdeka! (*)
SANGGAR SASTRA TASIK (SST).
“ LAGU BULAN MEI ”
ANTOLOGI PUISI LBP SE-JAWA BARAT SST 2013
Hanna Fransisca
PADA SUATU HARI
Adakah nyanyi Hutan Bambu* sampai padamu?
Telah kuputuskan menunda hati pada embun pucuk pagi
Sebelum burung tiba, dan angin menjatuhkan derainya
pada tanah yang mengekalkan sepi.
Maka dengarkan suara hati sebelum pergi.
Sebab telah kularang siapapun menjelma burung. Kutolak
serta
para pemanggil angin. Lantaran embun
terlanjur jatuh menjadi batu, adalah cintaku
yang terus menunggu.
Kaulihat malaikat menuruni tangga langit,
di malam udara, membawa embun
dan menidurkan aku di sini. Pada suatu hari.
Menunggu hangat langkahmu
tiba di sini.
Pada suatu hari. Di pucuk bambu.
Dari sepi ke sunyi.
Dari angin ke bunyi.
Menyeru deru.
Sebutir debu.
Jakarta, Agustus 2011
Yusran Arifin
GAUN BORDIR
Seperti deru juki mimpimu berlari kencang sekali
Helai benang juga lembar nasibmu yang terang itu kau bentang
Dari tiang pikiran hingga ke tiang-tiang tak terbilang
Jumlahnya. Hidup adalah bentangan mimpi dan harapan-harapan
Suci, jeritmu dengan hati panas seperti mesin yang kehilangan minyak
Pelumas. Kau terus berlari mencelupi waktumu yang singkat itu
Dengan warna-warna pelangi. Tak juga kau berhenti
Masa depanmu adalah riuh pasar yang tak henti kau perlebar
Hingga kampung-kampung telah lama kau ratakan.Mirip barbar
Sebelah dari madrasah juga selasar dari mushola yang terbelah
Di hatimu, di samping rumah kontrakan itu telah lama kau
Sewakan, jadi tempat pelelangan. Segala yang ada dan kau punya
Kau jual-belikan dengan harga menyedihkan. Kau jual bordir
Muliamu. Kau tukar gaun abadimu dengan kesementaraan
2013
Joko Pinurbo
KALVARI
Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang
Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.
Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.
“Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai.”
Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa Negara, tanpa agama.
Hanya ia yang mendengar sekaratnya.
“Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucercap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur.”
Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.
“Ia sudah pergi ke kota,” katanya,
“dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.”
1998
Taufiq Ismail
AKU BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI
Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan
Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan
Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam
Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini
Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam
1964
Rendra
DI MEJA MAKAN
Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
tatapan matanya pada lain sisi meja
lelaki muda yang dirasa
tidak lagi dimilikinya.
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa.
Dipeluknya duka erat-erat
dikurung pada bisu mulut
dan mata pijar warna kesumba
Lelaki depannya mengisar hati
- sudah lama.
Terungkap rahasia diperam rasa
terkunci pintu hati, hilang kuncinya
- sudah lama.
Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
memisah sudah sebagian nyawanya
di hati ia duduk atas keranda.
Lalu ditutup matanya gabak
gambaran yang digenggam olehnya:
lelaki itu terhantar di lantai kamar
pisau tertancap pada punggungnya.
Sutardji Calzoum Bachri
PARA PEMINUM
di lereng-lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
dipuncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
-kami takkan karam
dalam laut bulan-
mereka nyanyi-nyanyi
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
dipuncak
semuanya diam dan tersimpan
1976-1979
Acep Zamzam Noor
LAGU BULAN MEI
Bukit-bukit kembali menggeliat
Langit menanggalkan mantel tebalnya
Seperti perempuan yang terlentang di pantai
Mandi cahaya. Kuhirup birahi musim semi
Dari daun-daun dan rumputan baru
Kureguk anggur dari gelasmu yang penuh
Dan kita berada di hari lain
Di antara hari-hari yang memberat
Oleh muatan rindu
Aku membaca lagi
Buku-buku lama yang tertimbun salju
Kantuk dan kemalasan. Kusingkap halaman-halamannya
Dan aku menemukan pir, apel dan jeruk segar
Dari bukit-bukit dadamu yang menghijau
Kuulurkan tanganku pada matahari
Yang menuangi perasaanku dengan cahaya pagi
Lalu cahaya yang pemurah itu mengelus leherku
Dengan lidahnya yang hangat
Sebuah sungai di pahamu
Berkelok-kelok dengan riang
Menyirami rumpun bunga dan sayuran
Tangannya yang panjang bahkan mencapai
Altar gereja. Kulihat orang-orang berdoa
Dengan anjing-anjing mereka yang setia
Orang-orang bernyanyi dan berciuman
Seperti burung-burung merpati
Di bawah langit yang terang
Bersama sungai langkahku mengalir
Menyusuri tubuhmu yang licin
Kulewati puing-puing musim dingin
Seperti melewati hari kemarin yang kekal
Dari sekedar bercak merah di lehermu
Atau tumpahan anggur di lantai --
Namun kita akan tetap kehilangan juga
Seperti pohon yang ditinggalkan daun-daunnya
Ketika musim gugur tiba
1992
Sarabunis Mubarok
TULISAN PADA PETA
aku mencerap risau
di pantai-pantai di pulau-pulau
di selat-selat yang dihimpit hutan bakau
keringat nelayan masih mengasinkan lautan
saat hati orang-orang kehabisan garam
di kepal-kepal tangan di kecambah pikiran
di aliran darah anak-anak negeri yang deras
aku harus mencerap warna-warna kusam
mengapa negeri yang digurat kesuburan
membiakkan begitu banyak kambing hitam
gunung-gunung yang disandera di barat
sungai-sungai yang mengairmata di timur
kampung dan kota yang saling memburu
semua mengukir luka di tubuhku
lalu aku mencerap rahasia
di sulur-sulur cuaca dan hawa tropika
di senyum sejuk alam khatulistiwa
aku mencerap hasrat kembara
melebihi segala yang kasat mata
tapi di negeri yang sulit dibaca
minyak bagi remang adalah luka
haruskah aku menyulut api
meski membakar diri sendiri
2006
Juni Zami
AN AFTERNOON
Pada sepasang mata angsa
Kulihat senja yang terjaga
Di bibir telaga, seorang wanita
Mencelupkan sepasang kakinya
Sambil meraba beberapa bait
Sajak Lorca: tentang para pemanah
Yang buta. Souvenir asmara. Juga cinta
Yang mengenalkan kegembiraan
Dan rasa tunggara
Sementara di atas sebuah keletihan
Kuingat sepasang lesung pipimu
Hulu lahir juga arah hilir kematianku
Semakin sering kau tersenyum
Semakin kukenal kamar awal
Dan pembaringan yang kekal itu
Sebab keletihan, barangkali sebuah
Arloji yang dilingkarkan ibu dahulu
Pada pergelangan tanganku. Sejumlah
Peristiwa seperti juga namamu
Aku tuliskan. Semata agar bisa
Kukosongkan seluruh ruang dari
Ingatan
Seperti senja begitu juga tubuh seorang
Wanita buta yang perlahan-lahan malam
Sepasang angsa seperti juga hari-hari api
Dan kata-kata ketika bukit-bukit tenggelam
2011
Irvan Mulyadie
PALESTINA, MELANGGAM LUKA
..............
Di balik mimpi, lukisan perang
Mengikis hati para pengungsi
Yang tergolek di tenda-tenda
Di sepanjang perbatasan kemanusiaan
Dengarlah desing peluru!
Saban hari, suaranya begitu parau
Dan aku ingat hari itu:
Anak-anak takkan bisa bernyanyi lagi
Mengeja peta dan shalawat
Yang setia melanggam luka
Kepada saban raungan mortar
Angin telah menasbihkan kematian
Di padang debu penuh sembilu
Hiruplah bau darah, asap mesiu!
Atau lihat sobekan daging yang terpanggang
Pada tubuh perempuan hamil muda
Di Gaza, segala nampak sederhana
Genosida!
...............
...............
Ada sujud yang terhenti
Di hari Jumat penuh tragedi
Lalu malam merayakan kematian
Di lorong-lorong persembunyian
Ketika rudal ditembakkan sembarang arah
Dan mendarat dalam buku-buku sejarah
Tapi takkan terbaca olehmu, anakku
Bagaimana bayi-bayi itu menemu ajal
Saat maut menyarangkan banyak peluru
Ke tanah suci yang dijanjikan
Ya, di sepanjang sungai Tigris
Beribu nyawa mengalirkan deras tangis
2009
Juniarso Ridwan
LAUT MENDERA
di laut ini tak ada tempat ombak mendarat,
cinta pun mengembara dengan sayap perkasa,
orang-orang menggapai karang, menorehkan kerinduan
dengan cipratan air. Ribuan perahu, dengan cahaya lilin,
mengelilingi pulau-pulau tak bernama:
mencari persinggahan.
nelayan segera mendayung waktu, mengarungi lengkung
langit, membelah perasaan untuk berbagi tempat
dan menebar jala di antara lelehan parfum.
Seperti sayur-mayur atau hasil bumi diperdagangkan,
kenikmatanpun menjadi barang
rebutan; dikemas dengan apik
sesuai hitungan selera.
kukitari gunung-gunung bersalju, sambil menunggu
sungai-sungai terbentuk dalam kepala,
menghanyutkan hutan belantara.
Lalu di palung lautlah ajal menunggu setiap orang
dengan penuh ramah: “selamat datang para undangan
yang patuh,” ujar serbuk sianida berbasa-basi.
1996
Syahreza Faisal
DALEM CIKUNDUL
dengan meninggalkan Sagalaherang --pondok tentram
tempat syamsi meretas kabut pagi setiap hari
ia merapikan keyakinan memilih menjadi petapa paling gigih lagi.
ia tak pernah mengira kelak menggurat silsilah kampung mukimnya
di ujung kota paling barat. di mana ia jatuhkan kakinya
di sanalah mengalir mata air pertama.
semai yang ia taburkan di sepanjang bantaran sungai
tumbuh dari hujan berkah dan suluran sumber Cikahuripan.
di mana segala binatang akan minum dari mulutnya
untuk melepas dahaga membasuh luka pula
yang didapati mereka dari lebat rimba hutan.
ia menikahi istri dari kaum gaib semesta
dan mengutus ketiga anaknya agar bersemayam segera
ke tiap pundak dan gua gunung
: Suryakencana – sang penunggang kuda hitam bijaksana
Nyi Mas Kara yang memesona dan Andaka sang penangkal bala.
jadilah mereka selalu tersebut dalam tembang doa
terurai mesra dalam syair bujangga.
tapi kini ia tinggallah makam terkenang hanya sekadar ruap cendana
sisa jisimnya yang sesekali dibawa pembakaran pada selaka.
para penziarah mendaki ke atas 170 anak tangga
lewat ayat yang terucap sama banyaknya.
mereka menjadikan ia sekadar jembatan mustajab doa.
demi jodoh fana, demi pangkat belaka
dan demi muslihat nafsu lainnya saja.
ia terkubur seperti ingatan tentang bayi kota yang terlantar.
tiba-tiba suara ia berdenting pada rentang kawat kecapi
rajah yang ditembangkan suara parau lelaki tua
di atas sunyi purba pendapa kota.
2012
Bode Riswandi
BUAT ANNA POLITKOVSKAYA
Salju yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam peluru makarov yang dilempar
Seseorang ke dada dan kepalamu. Lantas
Orang-orang bernyanyi untukmu, tentang
Nasib serta takdir mereka yang bermukim
Di lobang senjata
Di Chechnya kematian itu mudah tumbuh
Bagaikan rumput, katamu. Berlapis-lapis
Ketakutan menjalar di dinding dan di kanal
Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun
Tidak sekelabu rambutmu yang menusuk
Banar peristiwa
Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari
Lentikmu berdarah mencium aroma bangsa
Yang punah. Di jalan-jalan, di tenda-tenda
Salju turun lebih kerap dari hari sebelumnya
Tapi nama-nama yang terkuras air matanya
Lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna
Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju
Tak cukup memadamkan bara di tubuhmu
Ketika burung-burung terbang ke dasar waktu
Dan beratus pasang biji mata digiring ke arahmu
Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari
Dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit
Kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna
Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana
2009
Amang Berdaulat
PESTA TABUR BUNGA
Seperti engkau yang bertengger di menara sana
Aku ingin mencatat kesaksian tiang bendera
Kemarahan puntung rokok
Tangis botol aqua
Ketika bisu pagar
Tak memuaskan slogan-slogan spanduk reformasi
Adalah ringkik michrophone yang mencak-mencak
Manakala debu kursi-kursi
Menceritakan sobekan arsip
Yang tertimbun dalam peti kemas meja sidang
Menjadi santapan kutu loncat
Dan sarang para kecoa
Di mana tikus-tikus
Merayakan pesta tabur bunga
Sementara semut-semut merapatkan barisan
Menyatroni kambing hitam pencuri gula-gula
Sambil menyeret cecurut
Yang kedapatan menimbun ransum
Jarum jam telah lupa akan arah angka-angkanya
Selagi hujan semburan ludah
Membanjiri perhelatan adu urat leher
Di mana setiap kursi
Memacu mulutnya hingga berbusa
Berebut seonggok racun
Yang disisakan ular beludak
Lalat-lalat malah berpesta
Menjilati luka segar anak toke
Yang tersisa kini
Tinggal bau dupa
Di mana asap kemenyan
Menggiring doa ke liang lahat
26 Desember 1998
Nazarudin Azhar
NOCTURNO, 2
dia, lelaki berjubah hujan
di negeri hijau kemalangan
seribu gang melingkar
rumah adalah rimba masing-masing
seorang gadis mengiris lengannya
mulutnya telah lama hilang
di dalam sebuah kerangkeng
dia lelaki berjubah hujan
dengan sisa seribu pelukan
"kau tahu, racun dalam nadi
limbah hitam dalam mimpi..."
gadis dengan separuh darah
hari-hari digelapkan
dalam sebuah kamar perkabungan
tak ada kisah cinta
atau lagu pop muntahan kesialan
di negeri ini mereka
dipertautkan oleh sepasang sayap
dan kelam
2011
Nina Minareli
LUKISAN LAUT
Laut meluap dari kebisuan panjang matamu
Minitipkan cuaca bagi hujan yang menjelma sangkar
Arah mata angin, biduk-biduk kecil, karang-karang
Pecahan cahaya ombak melingkar hening
Senja tenggelam, burung-burung hitam
Menggembalai sudut-sudut tabir warna musim
Laut adalah gemuruh kematian biru
Catatan rahasia cermin langit yang ragu dan bisu
2002