Selasa, 14 Mei 2013

Bintang Berkedip Sepanjang Malam


Jun Nizami


Lee

tak, ada, tak ada yang kekal barangkali
tak, tak seorang pun pernah benar-
benar tinggal, laila

        setangkai                                          
                     leli
               yang
                     kucintai
              sepanjang
                             musim
                          pedih
                                       ini

hari-hari luruh, kota mati.
api padam (ataukah pergi?)

tetapi kita, yang seperti telah benar-benar
jatuh hati pada seluruh kesedih dan
kebingungan ini:

kita saling memeluk, meski akhirnya saling
melepaskan kembali. aku mencintaimu meski
tahu akhirnya aku akan patah hati
jatuh
dan
mati

sebab kita, barangkali, kereta yang ditakdirkan
untuk kerap menyesal dan terlambat. bagi alamat
yang merasa kesal dan selalu telah lebih dulu
berangkat

tak, tak ada yang kekal barangkali
selain rhythm of skepticism
esai yang tak selesai
dan namamu

setelah lenganku, cintaku, tertidur dan hancur.
tapi yang kekal itu ada, barangkali:
kata-kata bagi lenganku,
dan namamu yang tugur
di situ
atau bukan di situ, lailaku

       setangkai                                          
                     leli
               yang
                     kucintai
              sepanjang
                             keberadaan
                          yang
                                    sangsi
                                             ini




Nota Elegia VI

Malam ini, akhirnya aku memiliki keinginan untuk
tak memiliki hasrat pada apapun. Angin letih tertidur
di beranda, setelah berabad-abad menjadi seorang
pengembara. Menyampaikan pesan, salam kangen,
dan doa-doa. Menyaksikan seluruh peperangan
serta hakikat karma

Akhirnya aku memiliki keinginan untuk tak memiliki
hasrat pada apapun. Pada hidup. Pada malam yang begini
buruk, membaca novel ataupun menulis puisi hanya akan
membuatnya lebih prosais dan membosankan

Tapi barangkali, demi rasa bosan, untuk yang terakhir kali
(inilah kukira alasan paling buruk di muka bumi;
aku berjanji, ini yang terakhir kali) aku akan pergi ke
sebuah stasiun, pura-pura bertanya, pura-pura melihat
jadwal kereta tiba

Untuk yang terakhir kali, duduk menunggumu.
Pura-pura mengantuk, lantas pura-pura pula menelpon;
“Kau di mana?”
 Atau,
“Kau sudah sampai mana?”
“Penuhkah keretanya?”
“Aku menunggu!”
Kemudian, “Miss you.”
Lantas menangis, tentu jika tak terlihat
seorang pun. Menangis, untuk bukan apapun

Tetapi barangkali, telah ada seseorang yang
mengawasiku sedari tadi, lantas menghampiriku
dan bertanya;
“Anda menangis?” dan barangkali akan kujawab,
“Tidak.” Tetapi barangkali ia akan merasa heran,
“Tetapi air mata anda berjatuhan?”
“Barangkali mereka sudah enggan bertahan,
Atau mereka sekedar ingin jalan-jalan sebentar.”

Barangkali kemudian ia akan tertawa, lantas menyimpan
seorang gila dalam pikirannya. Atau mungkin buru-buru
memperbarui pertanyaannya. Semisal;
“Anda cemas menunggu?” Dan tentu, pertanyaannya
akan kujawab, “Ya..”
tetapi, ”Oh.. Tidak. Tidak.”

Setelah itu barangkali ia akan paham, bahwasanya
aku adalah seorang yang telah kehilangan.
Kehilanganmu. Tidak, tetapi aku tidak kehilanganmu.
Aku mencarimu. Tidak, tetapi aku tidak mencarimu.
Aku menunggumu. Tidak, tetapi aku tak menunggu
siapapun. Barangkali dungu, seorang sia-sia menunggu
seseorang yang tiada. Sia-sia. Sebab pencari ialah
mencari sesuatu yang tak ada






Nota Elegia IV

Apakah yang kekal, cintaku.

“Barangkali ucapan selamat tinggal,” seseorang
bergumam.

“Barangkali dermaga, barangkali dada,” katanya
kemudian, setelah kekasihnya kembali bertanya,
manakah tempat yang paling sepi di dunia.

Isyarat kapal. Akhirnya, sepasang pecinta itupun
berpisah dan saling melambai.

"Sampai jumpa," ucap sebuah kapal pada dermaga.

“Selamat tinggal,” di lambung kapal, tertanda
kepergian.

"Kembalilah jika usia cinta masih tersisa. Jika
berkenan. Barangkali kapan-kapan kita bisa
kembali, lantas saling melukai lagi."

Minggu, 05 Mei 2013

LOMBA BACA PUISI SANGGAR SASTRA TASIK (LBP-SST) SE-JAWA BARAT 2013



LOMBA BACA PUISI SANGGAR SASTRA TASIK (LBP-SST) SE-JAWA BARAT 2013 


Setelah absen di tahun 2012, Sanggar Sastra Tasik (SST) kembali akan menyelenggarakan Lomba Baca Puisi se-Jawa Barat 2013. Tahun ini lomba akan dilaksanakan di Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) Jl. Lingkar Dadaha No. 18,5, Dadaha - Kota Tasikmalaya.


TENTANG PERLOMBAAAN 

Lomba terbuka untuk umum usia 17 tahun ke atas dengan persyaratan sebagai berikut: Warga Negara Indonesia atau WNI Keturunan, berdomisili di Jawa Barat atau di manapun di Indonesia namun lahir di Jawa Barat yang dibuktikan dengan fotokopi KTP atau identitas lainnya.

Calon peserta mendaftar langsung ke tempat-tempat pendaftaran yang telah ditentukan, mengisi formulir pendaftaran, serta membayar biaya administrasi sebesar Rp. 35.000,00 (tiga puluh lima ribu rupiah).


Waktu Pendaftaran yakni 1 April 2013 – 9 Mei 2013
(Teknikal Meeting 9 Mei 2013 Jam : 14.00 WIB - Selesai di Gedung Kesenian Tasikmalaya).

Untuk peserta yang berdomisili di luar alamat sekretariat pendaftaran yang tercantum di bawah, dapat mendaftarkan diri ke tempat pendaftaran terdekat.


 TASIKMALAYA   :  Sekretariat Sanggar Sastra Tasik (SST) Jl. Argasari No. 22 Juni Zami (083826590088) AriefRidwan Efendi (081222899786), Diana Cahya Alam (087826636020) Universitas Siliwangi, Ricky Komara Putra (085223390068) Universitas Siliwangi, Widya W.S. (085223003841) Aksara UPI Kampus Tasikmalaya

- CIAMIS                   :  Kidung Purnama (081320797616) SMA Negeri 1 Ciamis, Dienar Siti Fauziah (087725435100) Universitas Galuh

- BANDUNG             :  ZulkifliSongyanan (085659282090)  Arena Studi dan
Apresiasi Sastra-UPI (ASAS-UPI, Matdon (081395155000) Majelis Sastra Bandung (MSB)

- CIREBON                :  WahyudiYuli (085724556528) Komunitas Rumah Kertas

- MAJALENGKA      : Diah Rosdiana,Blok Kenanga RT 7 RW 04, Desa/Kec. Panyingkiran, Kab.Majalengka (081222155512)

- CIANJUR                :Ucup Waras (085793926998) Warung Sastra – Universitas
SuryaKencana Cianjur

- GARUT                    : NeroTaopik Abdillah (081323460864) Komunitas Ngejah, Didi RahmanFachroe (082121844927) Poss Theatron, Suta (Teater Sado - STKIP Garut)



TEKNIS PERLOMBAAN 

Peserta memilih dua judul puisi yang telah disediakan panitia dalam bentuk Antologi Puisi Lomba yang bisa diperoleh saat mendaftar, satu judul puisi dibacakan pada Babak Penyisihan, dan satu judul yang lainnya dibacakan pada Babak Final jika peserta bersangkutan berhasil masuk Final. Jadi, baik di Babak Penyisihan maupun di Final, peserta hanya membacakan satu buah puisi yang berbeda.
Adapun puisi-puisi yang wajib dibawakan peserta tersebut antara lain:

1.     Hanna Fransisca  PADA SUATU HARI

2.     
Yusran Arifin  GAUN BORDIR

3.     
Joko Pinurbo  KALVARI

4.     
Taufiq Ismail  AKU BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI
5.     Rendra  DI MEJA MAKAN
6.     Sutardji Calzoum Bachri PARA PEMINUM
7.     Acep Zamzam Noor  LAGU BULAN MEI
8.     Sarabunis Mubarok TULISAN PADA PETA
9.     Irvan Mulyadie  PALESTINA, MELANGGAM LUKA
10.   Juni Zami AN AFTERNOON
11.   Juniarso Ridwan  LAUT MENDERA
12.   Syahreza Faisal DALEM CIKUNDUL
13.   Bode Riswandi  BUAT ANNA POLITKOVSKAYA
14.   Nina Minareli LUKISAN LAUT
15.   Nazarudin Azhar NOCTURNO, 2
16.   Amang Berdaulat  PESTA TABUR BUNGA


                                                                   Pengantar Lomba:

SEBUAH UPAYA MEMBUMIKAN PUISI 

LOMBA Baca Puisi Sanggar Sastra Tasik (SST) dimaksudkan untuk lebih membumikan puisi ke tengah-tengah masyarakat. Upaya ini merupakan sebuah komitmen yang tetap dipegang teguh oleh SST sejak permulaan berdirinya pada paruh akhir tahun 1996 silam. SST merupakan satu-satunya komunitas sastra di Tasikmalaya yang secara khusus bergelut di bidang sastra, terutama puisi. Meski tidak secara khusus menggarap pelatihan baca puisi – sebab lebih cenderung menjadi laboratorium penulisan puisi bagi para peminat serius untuk menulis puisi, SST berkepentingan untuk memetakan bibit-bibit pembaca puisi yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk itu adalah dengan penyelenggaraan lomba seperti ini.

Kami melihat, selalu ada hal yang menarik dari kegiatan lomba seperti ini. Betapa di tengah-tengah “terasingnya” puisi bagi sebagian besar masyarakat kita, ternyata selalu saja terdapat pembaca puisi yang baik bahkan sangat baik, yang – tidak saja mampu memperlihatkan interpretasi yang benar terhadap teks puisi yang dibacanya, melainkan juga mampu menyajikan ekspresi dan gaya pembacaan yang memikat ketika tampil di atas pentas lomba. Hingga karenanya, puisi terasa hidup dan sangat menarik.

Secara teks, puisi memang hanyalah benda mati yang mungkin sulit untuk dipahami atau dinikmati oleh sebagian besar orang. Maka tugas pembaca puisilah untuk menghidupkan dan menyampaikan pesan-pesan/makna yang terkandung di dalamnya kepada pendengar atau penonton.

Lewat pembacaan yang baik, puisi seolah menjadi benda hidup dan pentas baca puisi tentunya menjadi tontonan yang asyik dan nikmat untuk disimak. Lebih dari pertunjukan dangdut atau musik pop, umpamanya, menikmati pertunjukan baca puisi malah sangat kontemplatif dan bahkan cukup inspiratif jadinya. Pada gilirannya, mentalitas dan ruhani kitapun akan tercerahkan dibuatnya. Di sinilah letak efektivitas Lomba Baca Puisi sebagai media sosialisasi, di mana hal ini akan mampu memancing perhatian orang, yang awam sekalipun, untuk bisa tertarik lebih jauh kepada puisi. Maka jika kegiatan semacam ini banyak diselenggarakan oleh banyak kalangan secara terus-menerus, bisa jadi katup “alienasi” puisi dalam kehidupan masyarakat kita, perlahan namun pasti, akan terbuka dengan sendirinya. Itulah barangkali yang senantiasa dimimpikan oleh Sanggar Sastra Tasik atau mungkin oleh kita semua.

Lewat Lomba Baca Puisi, kita bisa mengaji tradisi dan mencerahkan hati. Ah, semoga saja ini tidak sekedar sebuah obsesi atau mimpi, apalagi janji, sebab kami bukan politisi yang kerjanya cuma bisa menebar janji tanpa bukti. Sehingga, bisa jadi benar bahwa ketika keadaan politik suatu negara kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya. Demikian sebagaimana yang, konon, pernah dikatakan oleh John F. Kennedy.
Selamat berlomba. Merdeka! (*)

SANGGAR SASTRA TASIK (SST).

                                               “ LAGU BULAN MEI ”
                      ANTOLOGI PUISI LBP SE-JAWA BARAT SST 2013



Hanna Fransisca

PADA SUATU HARI 

Adakah nyanyi Hutan Bambu* sampai padamu?
Telah kuputuskan menunda hati pada embun pucuk pagi
Sebelum burung tiba, dan angin menjatuhkan derainya
pada tanah yang mengekalkan sepi.

Maka dengarkan suara hati sebelum pergi.
Sebab telah kularang siapapun menjelma burung. Kutolak
serta
para pemanggil angin. Lantaran embun
terlanjur jatuh menjadi batu, adalah cintaku
yang terus menunggu.

Kaulihat malaikat menuruni tangga langit,
di malam udara, membawa embun
dan menidurkan aku di sini. Pada suatu hari.
Menunggu hangat langkahmu
tiba di sini.

Pada suatu hari. Di pucuk bambu.
Dari sepi ke sunyi.
Dari angin ke bunyi.
Menyeru deru.
Sebutir debu.


Jakarta, Agustus 2011



Yusran Arifin

GAUN BORDIR 

Seperti deru juki mimpimu berlari kencang sekali
Helai benang juga lembar nasibmu yang terang itu kau bentang
Dari tiang pikiran hingga ke tiang-tiang tak terbilang
Jumlahnya. Hidup adalah bentangan mimpi dan harapan-harapan
Suci, jeritmu dengan hati panas seperti mesin yang kehilangan minyak
Pelumas. Kau terus berlari mencelupi waktumu yang singkat itu
Dengan warna-warna pelangi. Tak juga kau berhenti

Masa depanmu adalah riuh pasar yang tak henti kau perlebar
Hingga kampung-kampung telah lama kau ratakan.Mirip barbar
Sebelah dari madrasah juga selasar dari mushola yang terbelah
Di hatimu, di samping rumah kontrakan itu telah lama kau
Sewakan, jadi tempat pelelangan. Segala yang ada dan kau punya
Kau jual-belikan dengan harga menyedihkan. Kau jual bordir
Muliamu. Kau tukar gaun abadimu dengan kesementaraan


2013



Joko Pinurbo

KALVARI 

Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang

Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.

Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.
“Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai.”

Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa Negara, tanpa agama.

Hanya ia yang mendengar sekaratnya.

“Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucercap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur.”

Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.
“Ia sudah pergi ke kota,” katanya,
“dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.”


1998



Taufiq Ismail

AKU BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI 

Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan

Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan

Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam

Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini

Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam


1964



Rendra

DI MEJA MAKAN 

Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
tatapan matanya pada lain sisi meja
lelaki muda yang dirasa
tidak lagi dimilikinya.

Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa.

Dipeluknya duka erat-erat
dikurung pada bisu mulut
dan mata pijar warna kesumba

Lelaki depannya mengisar hati
- sudah lama.

Terungkap rahasia diperam rasa
terkunci pintu hati, hilang kuncinya
- sudah lama.

Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
memisah sudah sebagian nyawanya
di hati ia duduk atas keranda.

Lalu ditutup matanya gabak
gambaran yang digenggam olehnya:
lelaki itu terhantar di lantai kamar
pisau tertancap pada punggungnya.



Sutardji Calzoum Bachri

PARA PEMINUM 

di lereng-lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
dipuncak

mereka oleng
tapi mereka bilang
-kami takkan karam
dalam laut bulan-
mereka nyanyi-nyanyi
jatuh
dan mendaki lagi

di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka

dipuncak
semuanya diam dan tersimpan


1976-1979



Acep Zamzam Noor

LAGU BULAN MEI 

Bukit-bukit kembali menggeliat
Langit menanggalkan mantel tebalnya
Seperti perempuan yang terlentang di pantai
Mandi cahaya. Kuhirup birahi musim semi
Dari daun-daun dan rumputan baru
Kureguk anggur dari gelasmu yang penuh
Dan kita berada di hari lain
Di antara hari-hari yang memberat
Oleh muatan rindu

Aku membaca lagi
Buku-buku lama yang tertimbun salju
Kantuk dan kemalasan. Kusingkap halaman-halamannya
Dan aku menemukan pir, apel dan jeruk segar
Dari bukit-bukit dadamu yang menghijau
Kuulurkan tanganku pada matahari
Yang menuangi perasaanku dengan cahaya pagi
Lalu cahaya yang pemurah itu mengelus leherku
Dengan lidahnya yang hangat

Sebuah sungai di pahamu
Berkelok-kelok dengan riang
Menyirami rumpun bunga dan sayuran
Tangannya yang panjang bahkan mencapai
Altar gereja. Kulihat orang-orang berdoa
Dengan anjing-anjing mereka yang setia
Orang-orang bernyanyi dan berciuman
Seperti burung-burung merpati
Di bawah langit yang terang

Bersama sungai langkahku mengalir
Menyusuri tubuhmu yang licin
Kulewati puing-puing musim dingin
Seperti melewati hari kemarin yang kekal
Dari sekedar bercak merah di lehermu
Atau tumpahan anggur di lantai --
Namun kita akan tetap kehilangan juga
Seperti pohon yang ditinggalkan daun-daunnya
Ketika musim gugur tiba


1992



Sarabunis Mubarok

TULISAN PADA PETA 

aku mencerap risau
di pantai-pantai di pulau-pulau
di selat-selat yang dihimpit hutan bakau
keringat nelayan masih mengasinkan lautan
saat hati orang-orang kehabisan garam

di kepal-kepal tangan di kecambah pikiran
di aliran darah anak-anak negeri yang deras
aku harus mencerap warna-warna kusam

mengapa negeri yang digurat kesuburan
membiakkan begitu banyak kambing hitam

gunung-gunung yang disandera di barat
sungai-sungai yang mengairmata di timur
kampung dan kota yang saling memburu
semua mengukir luka di tubuhku

lalu aku mencerap rahasia
di sulur-sulur cuaca dan hawa tropika
di senyum sejuk alam khatulistiwa
aku mencerap hasrat kembara
melebihi segala yang kasat mata

tapi di negeri yang sulit dibaca
minyak bagi remang adalah luka
haruskah aku menyulut api
meski membakar diri sendiri


2006



Juni Zami

AN AFTERNOON 

Pada sepasang mata angsa
Kulihat senja yang terjaga
Di bibir telaga, seorang wanita
Mencelupkan sepasang kakinya
Sambil meraba beberapa bait
Sajak Lorca: tentang para pemanah
Yang buta. Souvenir asmara. Juga cinta
Yang mengenalkan kegembiraan
Dan rasa tunggara

Sementara di atas sebuah keletihan
Kuingat sepasang lesung pipimu
Hulu lahir juga arah hilir kematianku
Semakin sering kau tersenyum
Semakin kukenal kamar awal
Dan pembaringan yang kekal itu

Sebab keletihan, barangkali sebuah
Arloji yang dilingkarkan ibu dahulu
Pada pergelangan tanganku. Sejumlah
Peristiwa seperti juga namamu
Aku tuliskan. Semata agar bisa
Kukosongkan seluruh ruang dari
Ingatan

Seperti senja begitu juga tubuh seorang
Wanita buta yang perlahan-lahan malam
Sepasang angsa seperti juga hari-hari api
Dan kata-kata ketika bukit-bukit tenggelam


2011



Irvan Mulyadie

PALESTINA, MELANGGAM LUKA 

..............
Di balik mimpi, lukisan perang
Mengikis hati para pengungsi
Yang tergolek di tenda-tenda
Di sepanjang perbatasan kemanusiaan

Dengarlah desing peluru!
Saban hari, suaranya begitu parau
Dan aku ingat hari itu:
Anak-anak takkan bisa bernyanyi lagi
Mengeja peta dan shalawat
Yang setia melanggam luka

Kepada saban raungan mortar
Angin telah menasbihkan kematian
Di padang debu penuh sembilu
Hiruplah bau darah, asap mesiu!
Atau lihat sobekan daging yang terpanggang
Pada tubuh perempuan hamil muda

Di Gaza, segala nampak sederhana
Genosida!
...............
...............

Ada sujud yang terhenti
Di hari Jumat penuh tragedi
Lalu malam merayakan kematian
Di lorong-lorong persembunyian
Ketika rudal ditembakkan sembarang arah
Dan mendarat dalam buku-buku sejarah

Tapi takkan terbaca olehmu, anakku
Bagaimana bayi-bayi itu menemu ajal
Saat maut menyarangkan banyak peluru
Ke tanah suci yang dijanjikan

Ya, di sepanjang sungai Tigris
Beribu nyawa mengalirkan deras tangis


2009



Juniarso Ridwan

LAUT MENDERA 

di laut ini tak ada tempat ombak mendarat,
cinta pun mengembara dengan sayap perkasa,
orang-orang menggapai karang, menorehkan kerinduan
dengan cipratan air. Ribuan perahu, dengan cahaya lilin,
mengelilingi pulau-pulau tak bernama:
mencari persinggahan.

nelayan segera mendayung waktu, mengarungi lengkung
langit, membelah perasaan untuk berbagi tempat
dan menebar jala di antara lelehan parfum.
Seperti sayur-mayur atau hasil bumi diperdagangkan,
kenikmatanpun menjadi barang
rebutan; dikemas dengan apik
sesuai hitungan selera.

kukitari gunung-gunung bersalju, sambil menunggu
sungai-sungai terbentuk dalam kepala,
menghanyutkan hutan belantara.
Lalu di palung lautlah ajal menunggu setiap orang
dengan penuh ramah: “selamat datang para undangan
yang patuh,” ujar serbuk sianida berbasa-basi.


1996



Syahreza Faisal

DALEM CIKUNDUL 

dengan meninggalkan Sagalaherang --pondok tentram
tempat syamsi meretas kabut pagi setiap hari
ia merapikan keyakinan memilih menjadi petapa paling gigih lagi.
ia tak pernah mengira kelak menggurat silsilah kampung mukimnya
di ujung kota paling barat. di mana ia jatuhkan kakinya
di sanalah mengalir mata air pertama.

semai yang ia taburkan di sepanjang bantaran sungai
tumbuh dari hujan berkah dan suluran sumber Cikahuripan.
di mana segala binatang akan minum dari mulutnya
untuk melepas dahaga membasuh luka pula
yang didapati mereka dari lebat rimba hutan.

ia menikahi istri dari kaum gaib semesta
dan mengutus ketiga anaknya agar bersemayam segera
ke tiap pundak dan gua gunung
: Suryakencana – sang penunggang kuda hitam bijaksana
Nyi Mas Kara yang memesona dan Andaka sang penangkal bala.
jadilah mereka selalu tersebut dalam tembang doa
terurai mesra dalam syair bujangga.

tapi kini ia tinggallah makam terkenang hanya sekadar ruap cendana
sisa jisimnya yang sesekali dibawa pembakaran pada selaka.
para penziarah mendaki ke atas 170 anak tangga
lewat ayat yang terucap sama banyaknya.

mereka menjadikan ia sekadar jembatan mustajab doa.
demi jodoh fana, demi pangkat belaka
dan demi muslihat nafsu lainnya saja.

ia terkubur seperti ingatan tentang bayi kota yang terlantar.
tiba-tiba suara ia berdenting pada rentang kawat kecapi
rajah yang ditembangkan suara parau lelaki tua
di atas sunyi purba pendapa kota.


2012



Bode Riswandi

BUAT ANNA POLITKOVSKAYA 

Salju yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam peluru makarov yang dilempar
Seseorang ke dada dan kepalamu. Lantas
Orang-orang bernyanyi untukmu, tentang
Nasib serta takdir mereka yang bermukim
Di lobang senjata

Di Chechnya kematian itu mudah tumbuh
Bagaikan rumput, katamu. Berlapis-lapis
Ketakutan menjalar di dinding dan di kanal
Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun
Tidak sekelabu rambutmu yang menusuk
Banar peristiwa

Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari
Lentikmu berdarah mencium aroma bangsa
Yang punah. Di jalan-jalan, di tenda-tenda
Salju turun lebih kerap dari hari sebelumnya
Tapi nama-nama yang terkuras air matanya
Lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna

Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju
Tak cukup memadamkan bara di tubuhmu
Ketika burung-burung terbang ke dasar waktu
Dan beratus pasang biji mata digiring ke arahmu
Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari
Dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit
Kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna
Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana


2009



Amang Berdaulat

PESTA TABUR BUNGA 

Seperti engkau yang bertengger di menara sana
Aku ingin mencatat kesaksian tiang bendera
Kemarahan puntung rokok
Tangis botol aqua
Ketika bisu pagar
Tak memuaskan slogan-slogan spanduk reformasi

Adalah ringkik michrophone yang mencak-mencak
Manakala debu kursi-kursi
Menceritakan sobekan arsip
Yang tertimbun dalam peti kemas meja sidang
Menjadi santapan kutu loncat
Dan sarang para kecoa
Di mana tikus-tikus
Merayakan pesta tabur bunga

Sementara semut-semut merapatkan barisan
Menyatroni kambing hitam pencuri gula-gula
Sambil menyeret cecurut
Yang kedapatan menimbun ransum

Jarum jam telah lupa akan arah angka-angkanya
Selagi hujan semburan ludah
Membanjiri perhelatan adu urat leher
Di mana setiap kursi
Memacu mulutnya hingga berbusa
Berebut seonggok racun
Yang disisakan ular beludak

Lalat-lalat malah berpesta
Menjilati luka segar anak toke

Yang tersisa kini
Tinggal bau dupa
Di mana asap kemenyan
Menggiring doa ke liang lahat


26 Desember 1998



Nazarudin Azhar

NOCTURNO, 2 

dia, lelaki berjubah hujan
di negeri hijau kemalangan

seribu gang melingkar
rumah adalah rimba masing-masing
seorang gadis mengiris lengannya
mulutnya telah lama hilang
di dalam sebuah kerangkeng

dia lelaki berjubah hujan
dengan sisa seribu pelukan

"kau tahu, racun dalam nadi
limbah hitam dalam mimpi..."

gadis dengan separuh darah
hari-hari digelapkan
dalam sebuah kamar perkabungan

tak ada kisah cinta
atau lagu pop muntahan kesialan

di negeri ini mereka
dipertautkan oleh sepasang sayap
dan kelam


2011



Nina Minareli

LUKISAN LAUT 

Laut meluap dari kebisuan panjang matamu
Minitipkan cuaca bagi hujan yang menjelma sangkar

Arah mata angin, biduk-biduk kecil, karang-karang
Pecahan cahaya ombak melingkar hening

Senja tenggelam, burung-burung hitam
Menggembalai sudut-sudut tabir warna musim

Laut adalah gemuruh kematian biru
Catatan rahasia cermin langit yang ragu dan bisu


2002