Minggu, 29 Desember 2013

CATATAN JURI JABAR AWARD 2013



KESADARAN MEMANUSKRIPKAN KARYA

 0.

         DALAM kesederhanaannya, penyelenggaraan Lomba Manuskrip Sastra ”Jabar Award 2013” ini merupakan upaya dari Komunitas Malaikat untuk mengsigairahkan penciptaan, penjelajahan kreativitas, dan seleksi pribadi pada karya yang tercipta yang kemudian disatukan dalam satu manuskrip. Di sini juri mengartikan termin manuskrip sebagai naskah yang siap cetak dan terbit sebagai buku, yang relatif tak bisa diedit dan dikoreksi lagi. Pendekatannya berfokus kepada rentangan kreasi. Berawal dari potensi daya cipta yang dieksplorasi serta dieksploitasi, kreativitas yang dipacu sehingga bisa menghasilkan karya, bukti dari produktivitas itu terlihat dari sukses publikasi di media massa--meski ada yang sama sekaligus tidak kepincut untuk mempublikasikan karya--, dan bagaimana khazanah karya itu dipilih sehingga manuskrip itu menampung karya yang relatif setara sambil sekaligus memiliki keragaman--agar tak terjadi pengulangan cerita/tema dengan mengubah sudut pandang atau penokohan. Di titik ini, bersengaja mempersiapkan manuskrip bermakna ketelitian memilih karya unggul di antara sekian yang tercipta, keberanian untuk menyeleksi, dan penentuan kebijakan sehingga karya-karya itu dikelompokkan ke dalam manuskrip. Dengan kata lain, manuskrip itu bukan sekedar kliping, harus didasari pemikiran yang tersurat dipertanggungjawabkan dalam kata pengantar.

         Meski yang tersurat dijadikan persyaratan formal cuma mengacu pada ujudia: si sastrawan berdomisili di Jawa Barat--baik terlahir atau pendatang, yang mungkin ada dibuktikan kepemilikan KTP Jawa Barat--, dan usia si bersangkutan tak lebih dari 45 tahun. Tapi yang tersirat disasar itu justru aspek kesadaran cipta, sehingga karya yang tercipta itu tak hanya diserahkan kepada mekanisme pasar yang berupa sekian selera redaksi sastra di sekian media massa cetak yang menyediakan rubrik sastra, lalu pelan menyimpulkan kualitas (karya) dari keterpublikasian--dari di media massa cetak apa terpublikasikan. ”Legitimasi-legitimasi” dari bermacam-macam media massa cetak itu membuat banyak sastrawan terlena, menulis agar bisa terbit dengan ”melayani” selera redaktur sastra--yang terkadang berlindung di sebalik cadar misteri selera pembaca--, abai tidak menggali potensi apa yang dimiliki, tidak kritis menentukan apa yang bisa dikembangkan sehingga berbeda dari yang ada, serta apa yang harus dihindari karena terlalu sering ditulis dan telah banyak ditulis orang lain. Tidak kembali ke dalam diri sendiri, dan jadi tergantung kepada selera media massa cetak. Jadi bagian dari trend--tuntutan pasar yang berubah-ubah--, atau jadi robot yang terus mengekalkan brand--ciri produk yang dianggap khas.

          Justru hal itu yang sebenarnya sedang digarisbawahi Komunitas Malaikat--dan coba diaplikasikan juri dan pemilihan nominee, serta penentuan juara dalam rapat juri. Kelihatannya sederhana tapi ternyata tidak mudah dioperasionalkan.





         1.

          SECARA tehnis lomba ini hanya menyediakan satu mahkota juara bagi si karya pemenang--dengan kata lain, penekanannya pada karya bukan pada sosok kreatornya, meski diharapkan ada pertanggungjawaban kreator atas karya yang diciptakannya dan kemudian disatukan dalam manuskrip--dengan lima karya nominasi tidak berdasarkan ranking. Dengan hanya ada 21 (dua puluh satu) manuskrip saja kerja memeriksa serta menilai dari juri ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, karena manuskrup itu ada yang berjenis puisi--sekitar 12 (dua belas) manuskrip--, serta sekitar 9 (sembilan) prosa--terdiri dari 8 (delapan) kumpulan cerpen serta 1 (satu) novel. Dengan jumlah relatif terbatas itu juri sering kehilangan orientasi, karena dipaksa berpindah dari satu unikum ungkapia puisi ke corak khas ungkap prosa--dengan satu yang sangat panjang, sehingga tak terbayang kalau ada tambahan 3 (tiga) manuskrip novel lagi. Tidak heran bila juri terpaksa melakukan pengelompokan, kumpulan puisi dengan kumpulan puisi, lantas dibaca satu per satu sampai habis terbaca--lantas prosa, terutama kumpulannya cerpen karena novel hanya satu--, kemudian dilihat apakah dalam kumpulan puisi dan cerpen itu antara satu karya dengan karya yang lain itu level kematangan penciptaan dan kekuatan pengungkapan relatif sejajar. Fenomena ada fluktuasi kualitas nan terjal, sampai di sejauh mana pengulangan tema dilakukan hingga cerita depert cuma varian akibat dari pengalihan sudut pandang dan penokohan yang diceritakan jadi acuan.

         Dari pendekatan itu masing-masing juri mengajukan ”jago”-nya. Ketika dirunut, ada 8 (delapan) karya yang dinominasikan dan harus diperdebatkan. Yang lengkapnya seperti berikut ini--cuma disebutkan judul karya karena semua manuskrip tak bernama serta semua petunjuk yang mengarah pada pengenalan identitas si kreator dihilangkan panitia--: Almah Melahirkan Nabi, Cinta Seperti Angin Bermain di Pucuk Tebu, Dada Tuhan, Jampi Badak Putih, Kandil Kirmizi, Kartu Mati, Nota Elegia, serta Sejarah Merapal Mantra. Dari total 8 (delapan) karya unggulan itu ternyata ada 3 (tiga) karya yang dinominasikan tiga juri--Almah Melahirkan Nabi, Cinta Seperti Angin di Pucuk Tebu, dan Nota Elegia--, dan 2 (dua) karya dinominasikan oleh dua juri--Dada Tuhan dan Jampi Badak Putih. Karena itu perdebatan difokuskan pada tiga karya yang sama di-”jago”-kan ketiga juri--sambil tetap memsiperbincangkan kemungkinan dari karya yang disi-“jago”-kan dua juri dan yang oleh satu juri. Meski begitu, di bawah ini, juri hanya akan berfokus pada kelebihan dari karya-karya yang disepakati untuk dijadikan juara--dan diterbitkan sebagai buku.



         2.

         PENDEKATAN yang dilakukan di babak final dalam rapat juri itu bertolak dari kesepakatan tentang aspek-aspek yang harus ditimbangkan dan diperdebatkan yakni: kepaduan, kedalaman, dan kebaruan. Detil rincinya sebagai berikut:



         Kebaruan

         Di dalam menilai segi kebaruan/orisinalitas ini juri memsiperhatikan pemilihan masalah serta gaya pengungkapan si kreator dalam menyampaikan apa masalah yang dipilihnya, dengan memperhatikan segi kebaruan dari masalah yang diangkat kreator. Apa yang diangkat merupakan masalah yang baru--jarang atau belum pernah diangkat kreator-kreator sebelumnya, tidak klise--, bagaimana cara pandang si kreator terhadap masalah tersebut--apa dengan sudut atau cara pandang baru serta personal. Kalaupun masalah yang diangkat itu tak baru, tapi jika si kreator punya cara dan sudut pandang baru, personal, maka karya terlahir memiliki orisinalitas. Dengan kebaruan karya akan memiliki daya tarik.Dan itu, selain disebabkan oleh pemilihan masalah (tema/isi), pun dipicu oleh cara ucap/ungkap. Aspek ini tercermin dari penggunaan bahasa, style serta penyusunan struktur--plot, penokohan, latar, dan point of view untuk prosa; dan diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi, dan tipografi untuk puisi. Bisa saja si kreator mengangkat masalah atau tema klise, tapi bila memiliki cara dan pengucapan baru, maka karyanya (dinilai) punya kabaruan. Meski begitu kebaruan isi, cq tema atau masalah, serta gaya ucap (bentuk) tak bisa dinilai terpisah.

         Bentuk dan isi satu.



         Kedalaman

         Selain kebaruan juri menganalisis kedalaman, dengan memperhatikan aspek isi--masalah/tema--dan bentuk--bahasa/style dan struktur. Memperhatikan sejauh apa atau sedalam apa pengetahuan dan pemahaman si kreator akan masalah apa yang disajikan. Seorang kreator diandaikan lebih tahu dan paham tentang apa yang dikemukakannya dari pembacanya. Jika hanya mengekslorasi, mengeksploitasi, dan mengangkat suatu masalah--dalam karya--dengan pemahaman pembaca awam, karya tidak memberikan apa-apa. Kedalaman merupakan hal penting dalam proses penciptaan, merupakan satu penjumlahan dari laku tekun membaca, mengamati, survai, dan (personal) mengalami. Jadi cerminan pengetahuan dan pemahaman tentang masalah yang msu dikemukakan, dan terindikasi pada cara si kreator menyajikan/mengungkapkan. Kedalaman terlihat dari penyajian bahasa dan struktur. Dari intensitas penggunaan bahasa, dari intensitas penguasaan struktur serta tata bahasa, dan pemanfaatan style secara tajam fan efektif. Pengolahan struktur secara tajam memperpekat isi/gagasan yang disampaikan.

         Ketika menilai kedalaman di segi bentuk juri pun memperhatikan kepadatan dan ketajaman mengolah bahasa dan struktur, sebab--seperti menilai kebaruan--penilaian aspek kedalaman tak bisa memisahkan bentuk dan isi. Keduanya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.



         Kepaduan

         Satu cerpen dianggap baik kalau mampu menyajikan kepadatan serta kepaduan dari dan antara unsur-unsur tema, bahasa, plot, penokohan, latar, dan sudut pandang-- karena cerpen itu pendek, tak memberi kesempatan bust bertele dalam pengungkapan. Dalam cerpen tak boleh ada bagian yang dibiarkan longgar. Setiap bagian atau unsur harus menjadi kesatuan yang padat, utuh, dan saling mendukung dalam mewujudkan apa yang ingin disampaikan. Antara bentuk serta isi harus sinkron saling menguatkan. Begitu pula puisi. Setiap unsur harus saling menguatkan dalam menyampaikan makna puisi. Dan salah satu hal yang dipakai untuk mengukuhkan kepaduan ini acuan logika. Dengan demikian, di dalam menilai karya-karya yang diunggulkan--selain aspek yang telah dikemukakan--, juri amat memperhatikan permainan dan kontrol logika ketika si kreator mencari apa yang ingin diungkapkan, ketika memilih bagaimana (si) apa yang akan diungkapkan, apa karya yang tercipta faktual meyakinkan atau hanya dongengan yang ngawang-ngawang fiksional, dan karenanya apa yang diduga ingin disampaikan si kreator bisa dipahami calon apresiatornya.

          Di sini logika tak hanya dterkait dengan logika linear saat memahami apa yang ingin disampaikan, tapi juga berkaitan erat dengan menemukan (bentuk) bagaimana mengsikomunikasikan (si) apa itu, yang bersipat logika lambang.



         3.

         KRITERIA yang dirumuskan itu tidak mengaburkan karakteristik khas kategori puisi dan prosa yang dinilai. Aspek kebaruan, kedalaman, dan kepaduan hanya acuan pembanding dalam menganalisis karya yang diunggulkan. Dan berdasar hal itu, dapat dikemukakan alasan keterpilihan dari manuskrip Nota Elegia sebagai pemenang dan Almah Melahirkan Nabi, Cinta Seperti Angin Bermain di Pucuk Tebu, Dada Tuhan, serta Jampi Badak Putih sebagai empat nominasi.



         Almah Melahirkan Nabi itu hampir memuat karya-karya yang telah terpublikasi di media massa cetak ternama, tapi kesiterpublikasian itu menghasilkan rasa nyaman, sehingga terjadi pengulangan cerita meski dari sudut pandang serta tokoh lain--selain brand bercerita yang seperti telah dipatenkan. Namun dibandingkan karya dari peserta lain, yang tidak masuk nominasi, manuskrip ini memiliki kekuatan, terutama di dalam pengolahan struktur sehingga tertata apik--antar unsur saling menguatkan--, keutuhan atau kepaduan terbentuk. Teknik pengungkapan memiliki kedalaman, pemilihan kata (diksi), pemanfaatan gaya bahasa, daya deskripsi, dan yang lainnya tak sembarangan. Bisa dibilang memiliki daya ungkap yang mempertegas makna--teknik bercerita pada ”Almah Melahirkan Nabi” segar dan orisinil.

         Cinta Seperti Angin Bermain di Pucuk Tebu dimulai dengan satu kata pengantar, yang menunjukkan cerpen yang dikumpulkan itu ditulis berdasarkan tendens tertentu, yang bila tak mistik-sufistik ya protes sosial. Ini lebih memudahkan pembacaan sebab diberi rambu buat memperteguh atau menyangsikannya. Sekaligus membimbangkan, sebab yang diandaikan mistik-sufistik atau yang riil protes sosial itu kadang bersipat dongeng--tuturan yang tak bisa ditafsirkan selain sekedar dongeng. Meskipun lancar, dengan aliran peristiwa-peristiwa yang memikat serta memikat perhatian--kisah-kisah sederhana namun mengejutkan dan bernas--, yang menggoda, yang memaksa (untuk) diperhatikan, tapi tak tertafsirkan sebab dongengan itu tak menghadirkan yang tesirat --masih artifisial mengada-ada. Memang ada yang menggugah--”Legenda Penakluk Harimau”, ”Legenda Harimau dan Sumur Tua”, dan ”Dongeng”--, tetapi ”Pembuang Sampah”, ”Menggambar Cinta”, ”Pulang ke Rumah Ibu” cuma mengada-ngada

         Dada Tuhan seperti kumpulan (puisi) dokumen dari eksplorasi serta eksploitasi tema (puisi) yang beda, setidaknya si kreator menggali buat menghadirkan aspek lain dari yang biasa diungkapkan dalam puisi terkini--atau sekedar situasi lain dari narasi dan peristiwa yang sering diberitakan--, yang diandaikannya orsinil. Sehingga terlahir dimensi unik dari apa yang selama ini dipahami orang banyak atau kebanyakan orang --dengan (passion) liris menekan suasana menghadirkan pemahaman empatik, yang melahirkan puisi-puisi naratif  berat membebani--”Buat Ana Politkovskaya”, ”Dari Catatan Harian Nadja Halilbegovich”, atau ”Sangkuriang”. Mungkin itu cerminan dari rasa salah dan katakberdayaan (sosial), yang (lantas) memuncak berkelindan dengan perbawaan dan sipat religius si kreator, dan jadi sikap tak berdaya dalam tidak kuasa melupakan penderitaan orang lain dan sekaligus tak bisa memaksakan perbaikan yang mensejahterakan si orang termarjinalkan. Sayang pengolahan unsur-unsur kepuitikan terkadang kurang paduan.

         Si kreator Jampi Badak Putih ini mencoba mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi persajakaan dan (fantas) misterium yang menggetarkan dari kkazanah jampi, rajah, dongeng, dan hikayat. Pola persajakan tradisional yang monoton serta repetitif itu spontan membuat kepaduan terpenuhi, kedalaman misterium tergali, dan kebaruan tergaet--setidaknya tampak dari inisiatif mengsiangkat hal-hal yang tidak terpikirkan oleh penyair-penyair lain, terutama ide mendeskripsikan sesuatu--binatang, benda, dll --secara rinci. Detil melakukan pendeskripsian, sekaligus menukik sehingga terasa ada nuansa kedalaman dalam mengolah aspek-aspek puitik. Meski sepintas puisi-puisinya tanpa pretensi, tapi semakin diselami terasa asa pukau filosofis.



         4.

         Kelebihan Nota Elegia terletak pada passion penulisan puisi nan terjaga, bahkan dijaga agar senantiasa menyala dengan terus membuat pertanyataan-pernyataan puitik. Lirik dan diksinya selalu ditata--atau tersitata karena:--menyarankan situasi dari upaya eksplorasi serta eksploitasi emosi--lihat ”Melankolia” atau ”Nota Elegia IX”. Bahkan kengungunan itu sengaja dipertahankan secara kreatif dengan produktif menghadirkan catatan tentang hal-hal sepele yang mendadak mensijelma jadi kristal puitik--seperti terlihat dalam gugusan sajak-sajak pendek improvisatif ”Petcahanan-petcahan Katca”. Puisi-puisi dalam manuskrip Nota Elegia menunjukkan keterampilan si kreator dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi sarana kepuitikan--diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi, serta tipografi--, sehingga kepaduan terjaga. Tiap unsur saling menguatkan dan dikuatkan unsur lain. Bahasanya jernih mengungkapkan makna. Dengan penguasaan sarana kepuitikan--meski bentuk ucapnya merujuk teknik dan gaya seperti digunakan oleh penyair 1990-an--mampu menghadirkan kebaruan, setidaknya kesegaran--seperti terlihat pada ”Memotong Rambut”, lewat pengulangan bait dan larik berselang-seling sedemikian rupa sehingga efek artistik, nada, dan irama mempertajam makna.

         Secara keseluruhan, sebagai kumpulan puisi, Nota Elegia memiliki keunggulan kualitas pencarian. Si penyair menjelajahi ke timur dan ke barat, ke kampung serta ke kota, menyelam ke dalam tradisi dan berkecimpung di dalam modernitas, menenggok masa lalu serta mengintip masa kini, merunut fakta-fakta sambil menakik imajinasi, dan memastikan untuk melangkah ke ketidakpastian--selain meraup kata dari bahasa daerah dan bahasa asing. Ada kesengajaan untuk tetap tinggal di dalam ketegangan--bahkan penegangan, karena situasi tegang itu sengaja diciptakan--dari dua dunia yang secara binner berbeda. Di mana di satu sisi mengkondisikan dirinya sebagai si pencari kebenaran yang tak mau diliputi kebimbangan, tapi di sisi lain senantia menyangsikan alternatif yang mengisyarat dari ujung terowongan pencarian--sehingga tidak pernah tuntas ditelusuri sampai di ujung. Situasi--yang disadarinya sebagai si terkondisikan--bukan pengkondisian yang mengesankan dirinya hanya obyek dari subyek dominan--, seperti yang ditulisnya dalam kata pengantar, Rhythm of Skepticism--sebuah esai yang tak selesai--, yang ditegaskan lagi dalam ”Lee”. Kenapa? Agar senantia melantunkan kasih (”Kawih Kinasih”), meski bernada murung (”Melankolia”). Dari dalam situasi itu si kreator rakus membuat catatan-catatan sedih dan pedih berupa nota elegia, teks galau dari sahaya yang lagi majnun.

         Imaji-imaji kuat berwujud dengan/dalam diksi-diksi yang mendukung, membuat puisi-puisi (terasa) otentik menghadirkan catatan pencarian akan arti kehidupan, cinta, kehilangan, dan kematian. Di titik ini si kreator--cara pandang, pikiran, perasaan, dan pengalamannya tergolong biasa saja, tapi dalam kesederhanaan--telah mesirasuki dan menyesap kedalaman pengalaman hidup.



         5.

          Cag!***





Cibutak, 23 November 2013



Beni Setia

Nenden Lilis Aisya

Toto ST Radik




Jumat, 29 November 2013

Lee (Puisi Jun Nizami). MP3

Lee (Puisi Jun Nizami MP3)



Lee

tak, ada, tak ada yang kekal barangkali
tak, tak seorang pun pernah benar-
benar tinggal, laila

        setangkai                                            
                     leli
               yang
                     kucintai
              sepanjang
                             musim
                          pedih
                                       ini

hari-hari luruh, kota mati.
api padam (ataukah pergi?)

tetapi kita, yang seperti telah benar-benar
jatuh hati pada seluruh kesedih dan
kebingungan ini:

kita saling memeluk, meski akhirnya saling
melepaskan kembali. aku mencintaimu meski
tahu akhirnya aku akan patah hati
dan
jatuh
dan
mati

sebab kita, barangkali, kereta yang ditakdirkan
untuk kerap menyesal dan terlambat. bagi alamat
yang merasa kesal dan selalu telah lebih dulu
berangkat

tak, tak ada yang kekal barangkali
selain rhythm of skepticism
 esai yang tak selesai
dan namamu

setelah lenganku, cintaku, tertidur dan hancur.
tapi yang kekal itu ada, barangkali:
kata-kata bagi lenganku,
dan namamu yang tugur
di situ
atau bukan di situ, lailaku

        setangkai                                            
                     leli
               yang
                     kucintai
              sepanjang
                             keberadaan
                          yang
                                    sangsi  
                                             ini.

Sabtu, 21 September 2013

Puisi Wahyudi Yuli



Puisi Wahyudi Yuli

JUN NIZAMI

(Kecuali lewat malam, aku paham,
kota-kota begitu membosankan)

Ampas kopi, katamu, juga potongan besi,
halusinasi, nyala api, tangan pencuri,
hello kitty, dan sobekan koran pagi
membentuk bom waktu di punggungmu,
suatu hari, sebelum pukul tujuh di awal Januari.

Sementara hidup seperti berhenti di selembar karcis
kereta kelas bisnis, para imigran serta kaum urban
(baca: kita) setia menyiram-mupuki kecemasan,
akan senyum-sapa yang gagal menutupi kebencian,
kekayaan yang dibangun dengan hutang, lubang
dada yang ditinggalkan tuhan dan menyisakan
maha kesepian, juga pohon-pohon yang hilang
dari hutan di kejauhan.
  
...

2013 -

Selasa, 27 Agustus 2013

Catatan Perjalanan: Sepanjang Jalur Gunung Guntur


Catatan Perjalanan: Sepanjang Jalur Gunung Guntur



Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

(Pramoedya Ananta Toer)

(1)

Sebenarnya saya kurang percaya diri untuk membuka catatan kecil ini dengan ungkapan gagah seperti yang saya kutip di atas . Ini hanya catatan perjalanan biasa, sehabis mendaki. Sama seperti catatan-catatan perjalanan lainnya yang saya tulis di blog ini, semisal catatan perjalanan dari Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate, catatan perjalanan seusai mendaki Papandayan dan Cikuray –yang belum selesai, dan catatan perjalanan Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi, dan catatan-catatan yang lainnya lagi. Ini hanya catatan perjalanan biasa, meski ini, saya pikir juga tidak tepat untuk saya jadikan alasan kurang percaya diri. Jadi, bisa jadi sebenarnya saya tidak tahu kenapa saya kurang percaya diri untuk membuka catatan kecil ini dengan ungkapan gagah seperti yang saya kutip di atas. Jadi, ketidak-tahuan ini bisa jadi juga: Ini karena saya tidak mengenal diri saya sendiri.

Ini jadi mengantarkan saya pada pikiran: Kenapa hal-hal yang dialami, dipikirkan atau dirasakan seseorang harus memiliki alasan? Untuk apa? Bagaimana kalau tidak memiliki alasan?
Saya mendaki, entah untuk apa. Kenapa harus ada makna? Kenapa harus ada arti? Dunia toh tidak berhenti, meski barangkali ia tahu kita tidak mengerti. Dan hari-hari toh terus berlanjut, meski kamu tidak mengerti untuk apa kamu hidup.

(2)

Sebutlah Tapak Lamping, sebuah nama yang saya ajukan ketika kawan-kawan saya mencari nama untuk semacam komunitas pecinta alam di kampung kami. Dan jadilah! Dan tak usahlah bertanya apa makna atau artinya, karena saya biasanya akan balik bertanya: Kenapa harus ada makna? Ada arti? Bagaimana kalau tak bermakna? Tak berarti?

(3)

Baiklah, kita mulai!

21/08/13

Setelah rencana ke Ciremai tahun ini kembali gagal, akhirnya sidang “isbat” yang begitu lambat karena dipenuhi kata “terserah”dari anggota dewan ini memutuskan untuk menuju Gunung Guntur, Garut. Kata “terserah” ini selalu saya tandai sebagai kemungkinan bahwa kami adalah orang-orang yang gamang untuk mengambil keputusan, tapi bisa jadi juga sebagai sikap toleran, atau bisa jadi juga karena kemungkinan lain yang belum saya temukan. Dijadikan bahan candaan, misalkan, seperti yang akhirnya kami lakukan sepanjang perjalanan.

+ Mau naik jam berapa?

- Terserah!

+ Bikin tenda di sebelah mana?

- Terserah!

+ Ngopi atau mati?

- Terserah!

(4)

Swiss van Java, konon itulah julukan yang disematkan komedian Charlie Chaplin untuk Garut. Ini untuk kali ketiga kami mendaki Gunung di Garut, setelah sebelumnya Cikuray dan Papandayan. Kini Guntur. Setelah searching di internet terlebih dulu, 2.249 mdpl, benar-benar bisa saya anggap enteng.

Dalam sidang “isbat”, sebetulnya Ikbal mengajukan kembali Cikuray, alasannya karena Ochay (bukan nama sebenarnya) belum pernah ke sana. Tapi saya menolak. Saya memilih Guntur, karena kami semua belum pernah.

(5)

16. 30 wib kurang lebih, kami tiba di desa terakhir, lalu mampir di warung untuk membeli kebutuhan logistik di sekitar desa terakhir, karena kami lupa untuk mampir di pasar terakhir.

Hampir maghrib ketika kami berempat tiba di kampung Citiis, kampung terakhir, di kediaman ketua RW untuk terlebih dulu ngobrol, untuk sekaligus numpang menitipkan motor. Di kediaman ketua RW ini, sekilas melihat stiker, bertulis PUPALA, Pura-pura Pecinta Alam. Kami tertawa.

Selesai shalat di mesjid terdekat, kembali ngobrol dengan seseorang. Ia memaparkan tentang jalur pendakian; tentang jiwa-jiwa yang tersesat dan dicari-cari tim SAR beberapa pekan ke belakang (dengan kesan seolah mereka disesatkan setan); kemudian mitos. Ya, selalu ada mitos...

(6)

Berhubung kami belum pernah sama sekali, ada seorang Pak Tua (penyebutan Pak Tua di sini karena dua hal. Pertama karena saya lupa namanya. Kedua agar terkesan seperti cerita silat), Pak Tua itu menyarankan agar kami berangkat nanti pagi, menumpang truk pengangkut pasir sampai area penambangan atau akses kendaraan terakhir. Tetapi, akhirnya setelah mengadakan kembali sidang “isbat” sambil bercanda dengan kata “terserah” akhirnya kami memutuskan untuk berangkat. Minimal sampai Curug Citiis, untuk kemudian esok pagi dilanjutkan lagi menuju Puncak Guntur. Akhirnya, Pak Tua itupun berpesan, kurang lebih begini:

“ Hati-hati, ya Jang, jangan bicara kasar. Terus kalau mau bertanya, jangan bertanya ‘jalan’, tapi harus ‘jalur’! ”

Saya jadi membayangkan, betapa sebuah kata-kata bisa jadi begitu berharga, bisa memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap manusia.

(7)

Sudah gelap, ketika beberapa menit kami berjalan. Syukur masih ada truk yang hendak menuju pertambangan. Betul-betul gila dan mengesankan, sepanjang perjalanan, di atas truk, tubuh kami terbanting-banting. Tapi kami mulai bisa melihat lampu-lampu yang terhampar, seperti ribuan kunang-kunang yang terjebak dan terdampar.

(8)

Saya selalu suka melihat hamparan lampu-lampu dari kejauhan. Kemudian membayangkan hal-hal yang tengah dilakukan setiap orang di sekitar lampu-lampu yang terlihat kecil itu; di sudut lain, barangkali ada seseorang yang sedang menangis, ketika di sudut lain lagi barangkali ada seseorang yang sedang tertawa. Seseorang lagi barangkali tengah memeluk boneka, ketika seseorang lagi barangkali tengah menjaga pos ronda. Barangkali pula ada seseorang yang tengah tersesat dan kelaparan, ketika seseorang lagi barangkali tengah mendengarkan sebuah siaran radio dengan perasaan yang putus asa.

Ada dua penggalan sajak saya yang akan saya kutipkan di sini. Dua penggalan dari dua sajak yang berbeda:

...seperti hamparan lampu-lampu itu yang lebih terlihat
indah dari kejauhan, kau betapa nampak  lebih bercahaya
dalam kenangan

 (Meletakkan Kepala di Atas Meja)

... yang kelap-kelip itu, adakah ia sebuah lampu
dari halaman
ingatanmu?

(Melankolia)

(9)

Sekitar satu jam dari kampung terakhir. Mungkin karena gelap, Curug yang kami tuju , yang meski kami dengar gemuruhnya tak kami temukan. Sidang “isbat” lagi. Akhirnya kami memutuskan mendirikan tenda di sekitar area pertambangan. Shalat berjamaah, masak, ngopi, melihat lampu-lampu, lalu tidur di bawah cahaya bulan. Kebetulan malam itu adalah malam bulan purnama. Saya jadi membayangkan srigala, saya jadi ingat pesan “jangan bicara kasar dan jangan bertanya menggunaan kata jalan” dari Pak Tua. Tapi justru karenanya saya jadi berbisik, pada sleeping bag, “anjing, dingin sekali”. Dan bertanya, entah kepada apa, entah pada siapa, “yang manakah jalan kebenaran, jalan keselamatan dari agama yang telah terpecah-pecah menjadi beberapa golongan ini?”

(10)

09.00 wib kurang lebih. Kami mengisi air di Curug Citiis. Sumber air terakhir sebelum mendaki. Curug yang ternyata lumayan dekat dan terlihat dari tempat kami mendirikan tenda: Area pertambangan yang mengerikan. Saya jadi membayangkan manusia-manusia yang melahap gunung demi gunung, mengunyah batu satu-persatu, lalu meneguk gundukan pasir sampai butir-butir terakhir.

Gunung Guntur terlihat gersang, hanya ada beberapa pohon pinus yang bisa  terhitung (jika kamu mau menghitung). Selebihnya hanya kerikil, batu dan pasir, dan sehampar ilalang berwarna coklat menyala terkena sinar matahari.

2.249 mdpl dengan perkiraan waktu tempuh 4-5 jam yang saya anggap enteng, ternyata di luar dugaan dan jauh melenceng. Kamu bisa membayangkan jalur yang terus menanjak, berdebu, penuh kerikil rawan yang mampu membuatmu meragukan kuatnya pijakan kakimu sendiri. Ditambah terik matahari. Ditambah tak ada tempat yang teduh. Saya jadi membayangkan Padang Mahsyar yang tak terbayangkan. Tempat kelak manusia-manusia dikumpulkan, berhimpit-himpit, berdesak-desak, di mana jarak matahari dengan kepala teramat sangat dekat. Hari-hari naas yang teramat panas. Di mana hanya ada beberapa golongan manusia yang mendapat naunganNya. Semoga kita termasuk di antara golongan tersebut. Amin...

(11)

Saya mulai belajar, “2.249 mdpl boleh kamu anggap enteng, tapi mulai sekarang kamu juga harus memperhitungkan derajat kemiringan! Dasar bodoh!”

(12)

Lelah. Dan beberapa kali istirah...
Setiap berhenti selalu bikin kopi...

(13)

Ikbal tidur. Masuk dzuhur. Melihat Firman tayamum. Jadi debu...

(14)

Memutuskan melanjutkan pendakian setelah Ashar. Membayangkan diri termasuk golongan yang celaka kelak di Padang Mahsyar.

(15)

Kamu dekat
Tapi aku tak sampai-sampai.

(16)

Dan malam sampai.
Melihat kembali lampu-lampu
Dan barangkali kamu
Di situ
Di perasaan
Kasih yang tak sampai.

(17)

Angin memukul-mukul tenda
Dan ranting-ranting cantigi
Ochay membangun api
Ikbal selesma
Firman shalat
Saya tak ada.

(18)

Melihat handphone. Sial, ternyata masih terjangkau signal! Menengok facebook sebentar. Sial, kenapa jadi selalu ingin melihat profil facebook perempuan ini! 

(19)

“Apa susahnya sih membakar sampah bekas bungkus makanan atau minumanmu sendiri? Baiklah, kali ini saya akan membakar sampahnya. Tapi lain kali saya akan membakar orangnya! Pecinta Alam memang omong kosong!”

(20)



Tentang sampah, saya pikir, ada beberapa kesamaan dengan apa yang dikatakan Pak Tua

di awal, kata yang kerap dihubung-hubungkan dengan semacam mitos,


“Kalau di gunung itu gak boleh bicara kasar, nanti bla...bla...bla...”



Setelah itu tentu akan jadi timbul pertanyaan: Membuang sampah sembarangan dan bicara kasar itu apakah jadi hanya tidak boleh dilakukan ketika berada di suatu tempat saja?

Itulah kenapa saya membagi pendaki-pendaki sampah itu menjadi beberapa kategori:



- Ada pendaki yang di gunung, di rumah, atau dimanapun lingkungannya ia terbiasa buang sampah sembarangan.



- Ada pendaki yang dimanapun ia tak membuang sampah sembarangan.



- Kemudian ada juga pendaki, yang ketika di gunung ia betul-betul tidak buang sampah sembarangan, tapi ketika berada di luar  itu, ia membuang sampah sembarangan. Untuk kategori yang ini, saya pikir, adalah ia adalah tipe pendaki yang menganut kata-kata di atas, 

“kalau di gunung itu gak boleh buang sampah sembarangan...”

(21)

Perjalanan turun tak kalah gila. Derajat kemiringan ditambah jalur dengan tumpukan kerikil yang licin membuat si Ochay harus kakarayapan, sosorosodan, dan keketeyepan. Saya sendiri sampai memilih kukurusukan membuat jalur baru di tengah padang ilalang.  Kadang terlalu melenceng, hingga membuat saya harus kembali ke jalur semula, yang benar.

Perjalanan turun memang selalu lebih cepat. Kami harus mengejar shalat Jumat.

(22)

+ Apa yang kamu dapat dari mendaki gunung?

- Saya tidak tahu. Lagi pula apa memang harus mendapatkan sesuatu?



                                                                                                   Jamanis 2013


Langit Biru
Curug Citiis
Ikbal, Ochay, Firman
Titik GPS Gunung Guntur (Ikbal, Ochay, Firman)
(Ikbal, Ochay, Firman)
Sekitar Area Penambangan (Ikbal, Ochay, Firman)
Ilalang
Merayap
Di Seberang Cikuray
Sunrise