Rabu, 26 Juni 2013

Menafsir Puisi-Puisi Jun Nizami

MENAFSIR PUISI-PUISI JUN NIZAMI

                                    Oleh Lendra Dipraja  


An Afternoon

Pada sepasang mata angsa

Kulihat senja yang terjaga

Di bibir telaga, seorang wanita

Mencelupkan sepasang kakinya

Sambil meraba beberapa bait

Sajak Lorca: tentang para pemanah

Yang buta. Souvenir asmara.




Keberhasilan Jun Nizami dalam menulis puisi adalah dengan kepandaiannya mengumpulkan banyak kata yang kemudian dirangkainya menjadi sebuah bentuk puisi. Mulai dari kebaratannya, kebangsaannya, perang. Kata-kata ia himpun menjadi satu kesatuan yang utuh kesatuan yang memanjang. Seolah-olah dirangkai untuk menemukan satu bentuk makna.



Seperti kebanyakan orang yang tengah membangun sebuah rumah, ia mengumpulkan banyak ornament, objek kebendaan yang ingin dipasangkan menurut selera dan citra estetik yang ia pahami. Terlepas dari rasa betah atau tidaknya si penghuni rumah itu mendiaminya. Begitupun Puisi yang dituang oleh Jun. Ia begitu asik mengumpulkan banyak kata bahkan tanpa ia sadari kata-kata sisa export pun tak luput ia padu padankan dengan kata-kata dan diksi local. Pada beberapa Nota Elegia misalnya.



Memasuki Puisi Jun, seperti memasuki sebuah rumahnya orang barat, tanpa menghilangkan tekon timurnya Jun mampu mengajak pembaca untuk bisa menikmati kata perkata dalam tiap sudut puisinya. Ia memperkenalkan Gandhi, menunjukan Laila dan Majnun. Meski ada aroma yang begitu asing tercium dari pola puisi Jun. Biasanya pemilik rumah seperti Jun, akan membiarkan sang tamu untuk duduk dan menikmati isi rumahnya secara bebas. Tapi jangan sekalipun anda mencuri isi dari rumah tersebut, sebab ia akan ingat betul, apa dan bagaimana karakter objek benda tersimpan dalam rumahnya. Itulah rumah puisi yang terhidang di hadapan saya.



Dari sekian puisi yang saya baca, puisi-puisi Nota Elegia membuat saya ingin menyelaminya secara mendalam, konflik yang sengaja diciptakan Jun, terasa membabi buta. Perang muncul dalam keadaan penuh cinta yang awalnya dibangun, kemudian mati. Tiga sudut yang saling berkaitan itu, malah membuat isi puisi terasa mati oleh sendirinya. Tanpa perlu membaca kata-kata di atasnya, dalam Nota Elegia tersimpulkan bahwa Jun selalu ingin mengakhirinya dengan kematian. Pola puisi yang pesimistik. Kemungkinan barangkali akan muncul dengan gejala psikologis si penulis, namun kapasitas saya sebagai penikmat rumah puisinya Jun ingin dibatasi lewat penuhnya objek kata yang terpasang atau sengaja dipasangkan oleh Jun. Pemasangan kata dengan kata yang menjadi kalimat tidak lagi terasa seperti skrup yang saling memagut, namun terasa seperti perpaduan puzle yang berantakan. Namun satu sama lain saling memberi pesan dan kesan.





……..( Penggalan Puisi Jun)



Untuk yang terakhir kali, duduk menunggumu.

Pura-pura mengantuk, lantas pura-pura pula menelpon;

“Kau di mana?”

Atau,

“Kau sudah sampai mana?”

“Penuhkah keretanya?”

“Aku menunggu!”

Kemudian, “Miss you.”

Lantas menangis, tentu jika tak terlihat

seorang pun. Menangis, untuk bukan apapun



……..( Penggalan Puisi Jun)



laila, laila, laila,

aku sahaya,

aku majenun

yang kehilangan cahaya





KEHADIRAN OBJEK ASING YANG KEMUDIAN GAIB



Dari mana Jun mengenal Gandhi? Lelaki berkacamata bulat tersebut tiba-tiba hadir di rumah puisi Jun, tanpa salam. Kemudian pamit pun tanpa diketahui. Menjadi gaib kiranya apa yang sedang saya nikmati pada rumah puisi Jun? Berhasilkah Jun dalam membuat pelayanannya dalam sebuah rumah miliknya?



…….(Penggalan Puisi Jun)



sepanjang padang pasir, menjadi penyair

seseorang yang fakir, lagi kerapkali terusir



…… (Penggalan Puisi Jun )



Tapi seperti pula engkau, cintaku, sang vegetarian

telah lama pergi. Dan seperti pula Gandhi, cintaku,

kota ini telah lama sekali mati





Rumah tetaplah rumah, begitupun puisi. Berhasil atau tidaknya puisi itu sampai kepada pembaca kesemuanya itu merupakan hal yang sangat relative. Bagi saya Jun telah berhasil memberi kenikmatan, di sisi lain Jun kurang memberikan kenyamanan. Intinya puisi Jun itu NIKMAT TETAPI TIDAK NYAMAN.



MENAFSIR SETELAH MEMBACA



Setelah membaca dan memasuki rumah puisi Jun, pada akhirnya saya harus berani menafsir. Tetapi saya belum sanggup menangkap makna awal si pemilik rumah yang membangun rumahnya, atau si penulis puisi ketika ia selesai menuliskan puisinya dan mempersilahkan untuk ditafsir. Saya harus bersikap dewasa dan cermat. Saya tidak melihat penempatan makna pada puisi Jun kali ini, makna yang dituliskan Jun dari peristiwanya masing-masing sebagai hasil dari olah hidupnya atau pengalaman Jun sendiri yang diwujudkan dalam teks puisi.



Jun pada puisinya masih memberikan perbandingan-perbandingan dengan kata-kata yang saling dihadapkan dalam membentuk pola kalimat. Saya cenderung menguasai tafsir kalimat ketimbang teks satu persatu. Barangkali saya harus merasa diri, bahwa saya bukanlah penafsir tunggal dalam mengolah tafsir atas puisinya Jun, tetapi lebih cenderung sebagai wahana membuka mata baca yang ingin tersampaikan di sini. Sehingga penemuan makna baru bisa ternikmati dengan sendirinya. Dan saya bersedia sekali untuk masuk ke dalam ranah makna yang tersembunyi di balik puisi-puisinya Jun.



Seyogyanya bagi saya sendiri harus bisa menyadari bahwa kehidupan tidak bisa dinalarkan dan disistemasikan secara logis. Itu yang menjadi poin saya dalam menilai serta menafsir puisi jun. Sehingga bagi saya sekali lagi, puisi Jun seperti sebuah rumah. Di mana kita lahir di dalamnya tanpa bisa menolak hasrat. Inilah yang saya pahami sebagai rumah kebijaksanaan. Namun mesti kita ingat, teks atau kata hasil ekspor, jika masih bisa diganti oleh teks local, tidak ada salahnya dimasukan ke dalam rumah tersebut. Sebagai hasil dari nalar yang bijaksana. Dan tidak secara anarkis. Memaksa teks atau kata untuk mendiami rumah kita.



2012