Rhythm of Skepticism
Oleh Jun Nizami
(Radar Tasikmalaya, 03 Juni 2012)
Oleh Jun Nizami
Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
Mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin
(Goenawan Mohamad, Pada
Sebuah Pantai: Interlude)
(1)
Suatu
ketika, di sebuah hari yang tak ada, seseorang
bertanya pada kekasihnya: “Apakah yang tak mungkin, Kekasihku? Jika segalanya
serba mungkin, dengan begitu, maka bukankah tak mungkin ada yang tak mungkin
itu?
Pertanyaan semacam ini, saya tahu, barangkali terdengar begitu sia-sia, barangkali juga
tidak. Barangkali seperti juga hidup, yang mungkin sia-sia, mungkin juga tidak.
Dan tentang sesuatu yang menyangkut kesia-siaan, suatu ketika, di sebuah hari
yang juga tak ada, seseorang pernah berkata
dengan segenap
kepercayaannya: “Tak ada satu hal pun yang sia-sia,”
katanya, kepada seseorang lain yang kemudian berkata: “Lantas untuk apa kata
sia-sia ada? Jika begitu, maka bukankah sia-sia sekali kata sia-sia itu sendiri?”
“Apakah yang tak mungkin
itu, Kekasihku?” Seorang kekasih mengulang kembali pertanyaannya. “Mungkin,
Laila,” jawab kekasihnya,”yang mungkin tak mungkin itu ialah penghapusan kita, ketiadaan
atau ketakpernah-beradaan kita.”
(2)
-
Tak
ada yang tak mungkin untuk Tuhan, anak muda!
+ Kita terlanjur ada. Lalu mungkinkah Ia bisa membuat kita jadi tak
+ Kita terlanjur ada. Lalu mungkinkah Ia bisa membuat kita jadi tak
pernah ada. Tak pernah ada, pak tua?
(3)
Waktu itu menjelang malam
ketika saya sampai di puncak Cikuray. Gunung yang barangkali benar, sebagai
gunung tertinggi keempat di Provinsi Jawa Barat. Dan setiap kali mendaki,
dengan riang, sedikit murung, biasanya saya bersenandung: Naik-naik ke puncak gunung, ketemu filsuf yang bingung. Saya lantas
teringat Gie, atau barangkali lebih tepat teringat puisi terakhir yang diakhirinya
dengan kalimat –yang barangkali pula hasil perkelahiannnya dengan
kesangsian-kesangsiannya sendiri:
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa
Udara semakin dingin waktu
itu, dan saya menanti sunrise. Bibir saya pecah-pecah seperti pula pikiran
confuse dan skeptis. Saya membakar rokok lantas berpikir: Saya membakar sesuatu
yang saya beli, barangkali bodoh sekali. Saya mendaki, meski pada akhirnya saya
akan turun lagi, barangkali sia-sia sekali. Aneh sekali. Seperti puisi,
barangkali.
Ya, selain mendaki, satu hal
yang juga kadang saya lakukan ialah menulis puisi. Dan kesangsian (suatu hal yang menyebabkan, atau barangkali juga
disebabkan. Melahirkan, atau barangkali juga dilahirkan), saya selalu percaya, bahwa ia adalah unsur yang kerap terlibat dalam
puisi, atau barangkali menjadi sesuatu yang tak bisa dipisahkan, atau
barangkali justru menjadi unsur fundamen dari (atau bagi?) puisi itu sendiri.
Maka dengan begitu, saya
hendak percaya bahwa seorang penyair bukanlah seorang propagandis yang tengah
menyampaikan dogma: “Puisi itu ‘harusnya’ membuat bening hati nurani.” –tapi
saya sangsi. Ia, dalam pembayangan saya ialah yang melulu sangsi, bertanya, dan
mencari. Ia seseorang yang menyanyikan hasrat ataupun harapan, keriangan
ataupun kesedihan. Ia, seseorang yang optimis ataupun pesimistis, yang menyanyikan
perahu oleng, pertanyaan demi pertanyaan, kesantunan ataupun kebencian, juga menyanyikan
cinta maupun dendam.
Ia seorang pencari yang akan
terus mencari. Ia seorang pencari yang takkan pernah berhenti mencari. Betapa ia yang sekaligus tahu, bahwa menemukan bukanlah
takdir bagi seorang pencari. Sebab dengan rasa sangsi,
barangkali, maka akan lebih banyak hal yang dapat ia gali, dari yang kita sebut kefanaan ini.
Saya teringat penggalan puisi
Sulaiman Djaya yang berjudul Kiasan Penyair:
Seorang penyair, cintaku, adalah seekor kelelawar malam
Terbang dan bimbang di antara terang bulan dan kegelapan
Ia mencari segala yang tak mungkin ia dapati dan sia-sia
Maka tak terlalu penting
sebenarnya menanggapi pernyataan: “Aku bukan penyair.” Atau, “Aku penyair.”
Saya lantas jadi teringat pernyataan seorang teman yang juga menulis puisi dan
menyatakan: “Aku bukan penyair,” katanya, berulangkali menegaskan pada saya.
Terdengar benar-benar ingin agar tak disebut penyair, ya, terdengar benar-benar ingin agar disebut penyair.
-Jika
sebutan penyair itu terkesan mulia bagimu, memang semulia apa itu? Dan jika
terkesan buruk, seburuk apa pula itu?
(4)
Lantas izinkan saya menutip
penggalan puisi Cecep Syamsul Hari yang berjudul Efrosina ini:
Aku terikat di tempatku
Para filsuf menyebutnya dunia
Aku menyebutnya penjara
Atau puisi atau jalusi musim semi
Lalu mengutip Paul Valery:
Puisi adalah bimbang yang tak putus-putus antara bunyi dan arti. Lalu Carlyle: Puisi merupakan
pemikiran yang bersifat musikal.
Dan sebagai seseorang yang
suka membaca puisi (jangan, jangan membayangkan seseorang yang tengah membaca
puisi di atas panggung), saya tidak
termasuk orang yang memilih-milih puisi dari segi bentuk untuk dibaca.
Saya selalu menyerahkan diri pada apapun yang sedang saya baca, termasuk puisi.
Yang terpenting bagi saya, pertama-tama, ialah sejauh mana ia (puisi itu) dapat
membuat saya merasa terseret ke dalam irama dan suasana yang dibangun dan
dinyanyikannnya. Sejauh mana ia membuat saya tiba-tiba mendapati diri telah
tersesat dalam keindahan efek musikal yang terus disenandungkannya. Sebab inilah
yang bagi saya, yang menjadi letak kekuatan sebuah puisi atau sajak. Ringkasnya,
sekuat apa ia ‘meminta’ saya untuk terus membaca musiknya, yang pada akhirnya, sekuat
atau selama apakah ia dapat bergema, hingga membuat saya ikhlas dengan
sendirinya membiarkan ia tinggal di dalam diri saya, selamanya.
“De
la musique avant tout chose,” kata Paul Verlaine suatu ketika. Atau, “musiklah yang
paling utama dalam puisi.” Dan sebelum
membaca ungkapan penyair simbolis Prancis ini, telah lama saya percaya bahwa memang
musiklah yang selalu saya percaya sebagai unsur terbesar dalam proses
pembentukan sebuah puisi atau sajak.
“Kata-kata disusun
begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang
merdu seperti musik,” kata Carlyle, yang kali
ini membuat saya berpendapat agak sedikit berbeda. Bagi saya, musiklah yang justru menggerakkan intuisi si penyair untuk menyusun kata-kata yang
pada akhirnya frasa, kalimat, tifografi,
bait, dll, dengan begitu rupa. Ialah yang mendampingi selagi si penyair
kesepian, selagi si penyair menghayati pengalaman puitik, dan selagi si penyair
menuliskan puisinya. Bagi saya, kata-kata ialah laiknya sebuah tubuh bagi not
atau titinada atau bunyi untuk mengungkapkan ataupun mewujudkan dirinya.
“Pada mulanya adalah
kata-kata. Padanya, lalu ditiupkanlah nada yang telah diciptakan Tuhan sebelumnya,”
gumam saya, iseng sendiri.
Dan demikian, unsur musiklah
yang juga saya percaya, membuat suasana sebuah puisi selaras lagi terjaga. Dan
seberapa kuat unsur musik yang mengalir dalam diri si penyairlah, yang bagi
saya menjadi penentu seberapa tepatkah kata-kata, kalimat-kalimat yang
digunakan dan juga disusunnya. Seberapa tepat dan selaras untuk membuatnya
tidak menjadi fals. Dan seberapa mengalir, tentu agar tak ada kata-kata yang dalam
sebuah puisi merasa dirinya terkucil atau mubazir.
(5)
Selain untuk menulis dan
membaca, cukup sering saya menghabiskan malam untuk melamun. Biasanya di sudut
sebuah alun-alun, di Ciawi, yang cukup dekat dengan lintasan kereta api. Kecamatan
yang terletak di sebelah utara, di Kabupaten Tasikmalaya. Yang dari coretan di
pintu-pintu toko dan dinding-dindingnya dapat saya simpulkan, bahwa selain
ditumbuhi sepi (atau justru karena sepi?) wilayah ini pun ditumbuhi teror,
ditumbuhi berbagai nama geng motor.
Setelah agak larut malam, setelah
habis kopi, biasanya saya kemudian memesan nasi goreng pada seorang pedagang
yang di warungnya tengah memutar lagu Evie Tamala. Penyanyi dangdut, yang jika
saja dulu Tuhan menghendaki suara adalah sesuatu yang kasat mata, maka saya
percaya, bahwa suaranya adalah pendaran cahaya. Seperti
sehampar lampu di kaki-kaki bukit, yang nampak lebih indah jika terlihat dari
jauh.
Pada pukul 22:13 wib,
biasanya kerap terdengar senandung kereta yang tengah melintas, menuju timur.
Entah akan ke mana tepatnya, dan entah apa maknanya. Seperti puisi-puisi yang pernah
saya baca dan melintas kembali, barangkali. Apa pun maknanya, tak menjadi sesuatu
yang terlalu penting lagi bagi saya, apakah ia membawa makna atau tak, atau
dari puisi yang saya baca itu saya dapat menangkap atau memahami maknanya (jika
ia memang membawa makna) atau tak. Maka izinkan saya lagi untuk mengutip bait
terakhir dari puisi Pada Sebuah Pantai: Interlude ini:
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang,
lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana
–apa pun maknanya.
Yang dalam pembacaan saya
mengenai baris terakhir: Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan, mungkin
akan tetap juga di sana (--sekalipun
maknanya: tak bermakna apa-apa)
Dan demikianlah, bagi saya,
mencintai puisi ialah berarti mencintai sesuatu yang sia-sia sekaligus tidak,
yang barangkali dan yang sangsi. Yang entah, yang kokoh namun juga sekaligus goyah.
Seperti mengkhidmati senandung kereta api yang semakin menjauh itu, barangkali.
Yang memasuki lubuk malam, melintasi kota-kota sunyi, dan barangkali, terus menempuh
barangkali demi barangkali.
Jamanis, 2012
(Radar Tasikmalaya, 03 Juni 2012)