Jumat, 09 Desember 2011

Cerpen Suara Merdeka, 04 Desember 2011

                                  Hari Sudah Malam

                                                      

DARI kejauhan, hanya cahaya lampu-lampu yang menyelamatkan kota itu untuk tak disebut tenggelam. Angin tiba. Angin yang terlihat sudah begitu tua bangka. Ia seperti menghela nafasnya yang mulai lambat, satu-dua, seusai mengunjungi kota demi kota, melewati negeri demi negeri. Ia terlihat begitu lelah, semacam ingin rebah atau istirah dari keperihan barang sejenak saja. Begitulah!
Tetapi kukira, ia harus berpikir ulang sekalipun untuk tidur sebentar. Mungkin sebab sebuah kota yang dikunjunginya kini, adalah sebuah kota dengan seribu cerobong asap. Mesin bergemuruh siang-malam, pagi dan petang. Maquiladoras [1]!! Selamat datang di dunia beban [2]!!
Hari sudah malam, Senor! Dan di malam-malam seperti inilah sebuah jalan raya kerap menyergap, sehabis sepanjang siang menyembunyikan sebilah pedang di balik pinggang. Diiringi salak anjing, ya salak anjing! Juga letusan pistol, ya… yang entah berapa ratus ribu kali lagi ia akan berdesing.
“Percayalah, bau kotamu akan semakin asing, Ernest! Terlebih Kota itu kini dipimpin Walikota yang serupa tikus got!” Ia mengingat kata-kata itu sesampainya di pekarangan sebuah rumah. Sembari memperhatikan teras, tempat dulu bermain kuda kayu bersama ayahnya sewaktu kecil. Chery, serta cemara-cemara yang telah tumbang.
Kemudian terlihat pintu rumah dibuka oleh seorang lelaki tua yang membalikkan badan, seperti sedang berbicara dengan seseorang yang ada di dalam. Terakhir, lelaki tua itu membanting pintu, lantas menuju mobil bak yang juga tua yang tengah terparkir di halaman, di samping taman.
“Hei, rupanya kau pulang juga, anak berandal. Musim dingin yang berkah, Maria!” lelaki tua itu menyapa Ernest.
“Ya, Senor!” ucap Ernest dingin, setelah terdiam agak lama.
“Malam yang dingin, Nak! Sepertinya aku membutuhkan sedikit alkohol. Aku hendak keluar. Mungkin kau juga membutuhkan sesuatu?” tawar lelaki tua itu sambil memasuki mobil baknya, seusai mengenakan topi serta mengetatkan jaketnya.
“Tidak! Terima kasih banyak!” jawabnya, “Dari dulu aku hanya meminta kau menjaga ibu dan adikku,” lanjut Ernest lirih setelah lelaki tua bangka itu berlalu.
Dan di depan pintu, seorang wanita yang juga telah tua menyambutnya penuh rindu, buru-buru wanita itu memeluknya, seperti ingin merahasiakan pipinya yang lebam biru.
“Lama kamu tak pulang, Nak! Roose sudah jadi gadis yang cantik sekarang. Ia selalu mengigaukanmu dan merindukan dongeng-dongengmu!” ucap wanita tua itu melepaskan pelukan. Tetapi pemuda itu, seperti masih enggan melepaskan mata dari rambut ibunya yang telah dirimbuni uban, dan getar bibir keriput yang seperti menyimpan penyesalan.
“Bagaimana keadaannya, Bu? Penyakit itu?” pemuda itu melepas tatapannya lalu bergegas menuju pintu sebuah kamar. Wanita tua itu hanya tertunduk.
Di dalam kamar, seorang gadis terbaring tenang. Seperti seseorang yang melewati tahun demi tahun dengan nyaman. Persis delapan tahun lalu, masih di kamar dan di ranjang itu.
“Lihatlah, Bu, ia benar-benar telah tumbuh menjadi gadis yang cantik! Seperti putri tidur!” ucap pemuda itu di sisi ranjang, sambil mengusap dan mengecup rambut adiknya yang pirang dan mulai jarang. Juga pita hitam yang masih menyimpul di leher baju adiknya itu, adalah pita hitam delapan tahun silam. Sebuah tanda perkabungan dan dukacita yang lama dan dalam.
Betapa Ernest ingat ketika ia pergi meninggalkan rumah; kampung dan berhektare-hektare ladang yang murung, pembangunan, pabrik-pabrik, dan pusat-pusat perbelanjaan. Pembangkangan, kandang kuda, dan gereja-gereja yang terbakar. Dan terakhir, sebuah penjara bawah tanah yang benar-benar sunyi. Yeah, betapa segalanya masih terekam dalam kepala.
***
TELAGA lima warna, di samping lokasi pemakaman sempit yang dihuni ratusan salib. Pemuda itu masih tertunduk di hadapan kubur ayahnya yang telah lama meninggal. Beserta adiknya yang berwajah lesu. Di atas kursi roda.
“Seperti katamu dulu, telaga ini kini telah begitu keruh! Mungkin tak ada lagi peri-peri yang kerap bersuci dengan riang di sini seperti yang kau ceritakan dalam don geng-dongeng itu.” kata gadis itu di bibir telaga, sambil memainkan simpul pita hitam di leher bajunya.
“Begitulah Roose, halnya dengan udara yang tercemar. Bayangkan! Akhirnya kita dipaksa belajar menghela nafas dengan sangat pelan-pelan, sangat hati-hati dan sabar,” kata pemuda itu seusai mengecup sebuah nisan, lalu melemparkan matanya ke tengah telaga. Menatap hidupnya, dan menatap kenangan.
Ah, kenangan! Siapa pula yang bisa mengingkarinya. Tahun-tahun silam, begitulah yang sering ia lakukan: ketika senja, kerap dengan matanya ia menggiring angsa ke bibir telaga, dan mengkhidmati permukaan telaga yang gemerlap. Terkadang, jika sehabis hujan, telaga itu kerap menyalakan pelangi.
Tetapi begitulah kapitalisme, katanya, suatu ketika. Dari tahun ke tahun terus mengusung kecemasan demi kecemasan. Dan sekeras apa pun itu disembunyikan, tetapi tetap ia adalah sebuah kecemasan.
Sebuah lapangan kosong di samping sebuah pacuan kuda, tempat ia dan teman-temannya bermain sepakbola, telah menjelma bangunan lapangan futsal. Berhektare-hektare ladang, menjelma pabrik-pabrik dan perkantoran, dan swalayan-swalayan. Dan sebuah mata air di sebelah utara rumahnya, dipagari benteng paling tinggi setelah sebuah perusahaan air mineral mengklaim bahwa sumber mata air itu miliknya. Dan seperti yang kau tahu, segala sesuatu itu meruncing pada sebuah kesimpulan: bayar!
Mungkin sejak saat itulah Ernest mulai jarang berada di rumah. Ia pergi kemana saja dengan hatinya yang naif, meratapi kenyataan, bahwa kenapa uang adalah jalan penghabisan [3]. Dan barangkali jika suatu kali kau pernah mendengar ada seseorang yang menangis di dalam hatimu karena hal semacam itu, maka percayalah, orang itulah orangnya!
“Aku ingin tertawa Roose! Ketika mendoakan kesembuhanmu, mendoakan mendiang Ayah, mengecup kening Ibu, dan mencintai sesuatu aku harus membayar telebih dulu dengan sejumlah dollar!” ucapnya seusai mendongeng, pada suatu ketika, pada suatu malam, saat suara mesin-mesin dari arah pabrik begitu bising di telinga.
“Maka bekerjalah, anak berandal! Desa kita telah menjelma kota. Maka kau bisa bekerja di mana saja, seperti teman-temanmu! Daripada keluyuran! Lagipula apa yang kau hasilkan dari acara keluyuran itu?” potong ayah tirinya di ruang tamu, di hadapan televisi yang tengah menayangkan iklan produk susu. Dari dalam televisi itu muncul dua sosok wajah yang bertutur dengan ramah. Tetapi telinga Ernest hanya mendengar seruan dan teriakan-teriakan: Konsumsi! Konsumsi! Ayolah konsumsi produk kami! Kami bersumpah demi Bunda Maria, demi badai tornado, jangan mengaku Anda adalah seorang manusia kalau Anda belum mengonsumsi produk kami!
Sejenak pemuda itu tertawa mendengar khayalannya mengoceh. Tetapi lantas, ia kemudian melanjutkan apa yang hendak diucapkan sebelumnya.
“Senor, dan tiba-tiba aku membaca, bahwa di matamu segala hasil akhir mestilah sejumlah uang! Benarkah perkiraanku ini, Senor?”
“Tentu saja, anak tolol! Lagi pula di zaman seperti ini tak ada seorang pun yang tak menyembah uang! Sebab minyak wangi, bir, dan tusuk gigi sekali pun harus dibeli memakai uang,” sergah tua bangka itu dengan wajah merah padam.
“Jika begitu, maka sepertinya aku memilih kafir saja, Senor!” pemuda itu menyahut dengan nada enteng.
“Dasar anak sampah! Kau pantas jadi orang miskin,” hardik ayah tirinya itu lantas menatap ke arah kamar. “Lihatlah anakmu ini, Maria! Anak yang sia-sia!” lanjutnya.
Tapi pemuda itu memilih keluar rumah, menuju arah suara mesin pabrik yang begitu bising seperti amarah. Seperti amarah. Dan malam itu, mungkin adalah sebuah malam terakhir ia pamit pada ibunya dan menceritakan sebuah dongeng bagi Roose. Sebab di malam itu pulalah ia kedapatan tengah berusaha menghancurkan mesin utama sebuah pabrik tekstil, menggunakan sebuah martil.
Dan, oh Roose… potongan dongeng malam itu melayang-layang di kepalanya ketika ia terjaga, ketika mendapati kabar bahwa kakaknya telah masuk penjara:
Alkisah, pada suatu ketika aku dikutuk Tuhan menjadi uang. Kemudian kepadaku, orang-orang bersujud bersembahyang. Markus jadi miskin dan gila, Charro mendadak kaya dan sama jadi gila. Dan Tuhan, Ia yang Mahakaya, telah sama jadi gila karena cemburu padaku, Roose. Sementara aku, benar-benar merindukan kesunyian di tengah-tengah mereka yang gila….
“Selamat dipenjara! Selamat sunyi!” ucap Roose lirih.
***
HARI hampir malam. Ernest, pemuda itu menimbang-nimbang sebuah batu, lalu seolah mengalirkan hidup ke dalam genggaman tangannya. Ia melemparkan batu itu ke tengah telaga, seperti membuang nasib, takdir, dan hidupnya.
“Setelah masa hukumanmu berakhir. Lalu kau pergi ke mana saja?” tanya Roose.
“Chiavas! Zapatista, aku bersama orang-orang kelaparan, rakyat yang terluka, yang letih mendengarkan kebijakan ekonomi neoliberal,” jawabnya.
Kau tahu, Roose? Tiba-tiba saja ia, kakakmu, pemuda itu teringat kepada seorang bocah kecil di Chiavas sana.
Yang berperut buncit, yang kerap merintih dan berkata seperti ini; Kakak, dongengi kami, biar lupa pada rasa lapar ini mungkin dongeng tentang pesatnya pertumbuhan ekonomi [4]. Dan pada akhirnya, ia hanya bercerita tentang sebuah dongeng yang kepadamu pernah ia ceritakan, Roose. Dan Puji Tuhan, sepertinya anak-anak itu cukup senang. Dalam kelaparan.
“Hari hampir malam, Roose. Kau harus pulang! Ibu pasti khawatir! Kuantar kau sampai ke halaman rumah. Aku hendak ke gereja!” ucap pemuda itu, seraya mendekati kursi roda. Roose hanya mengangguk. Tetapi di rumah itu, di rumahmu, Roose.
Tiba-tiba saja melingkar sebuah sunyi, setelah datang seorang pengetuk pintu. Seseorang menyerahkan sesuatu kepada ibumu yang setelah itu tiba-tiba saja tersedu.
Sepucuk surat di atas meja terkapar di atas meja.
“Ada apa, Bu?” tanya Roose sesampainya di rumah. Wanita tua itu tak menyeka air matanya.
“Kamu pulang sendiri, Roose? Mana Ernest?” wanita tua itu balik bertanya. Dengan nada yang berat.
“Kakak mengantarku sampai halaman, ia kemudian pergi ke gereja!”
 “Hmm, semoga saja begitu.” Wanita tua itu terisak, kini, sambil menyeka air matanya.
Kemudian ia menyerahkan sepucuk surat yang sudah basah itu kepada Roose. Roose terlihat keheranan, ditambah ia seperti lantas mencium bau kematian.
“Dari siapa, Bu?” tanya Roose.
“Seseorang mengantarkannya dari kakakmu… yang tewas dua tahun lalu…,” ucap ibunya terbata. Wajah Roose menegang.
Dan jika saja aku ditakdirkan mati di sini, di tengah para petani yang menghargai tanah leluhurnya. Di Asia Tenggara, di sebuah negara dunia ketiga, setidaknya aku mati dalam dua penyerahan: perlawanan dan kepasrahan.
Kertas surat itu kembali basah. Roose melipat surat itu dan meletakkannya dalam ingatan. Tetapi tetap saja ia menanti kakaknya pulang dari gereja meski hari sudah malam. Yeah, sudah larut malam, Roose. Dongeng untukmu selanjutnya, mungkin tentang mesin-mesin yang terus bergumam, tak henti berdebam, hingga larut malam. (*)
 .
.
2010
 .
.
Catatan:
[1] Istilah pabrik-pabrik baru berskala multinasional. Dalam maquiladora, para buruh memperoleh upah minimum dengan kondisi kerja yang mengenaskan. How to Succeed at Globalization: A Primer for Roadside Vendors, Rafael Barajas Duran (El Fisgon), terjemahan Ronny Agustinus (Marjin Kiri, 2005)
[2] Dikutip dari sajak Jamal Rahman (JaRah), Eksodus ke Tanah Harapan “Sepenggal Kisah Anak Buyat (Wahana Lingkungan Hidup, Walhi, 2006)
[3] Dikutip dari sajak Irvan Mulyadie, “Tembang Kota Malam”.
[4] Dikutip dari How to Succeed at Globalization: A Primer for Roadside Vendors, Rafael Barajas Duran (El Fisgon), terjemahan Ronny Agustinus (Marjin Kiri, 2005)

Minggu, 20 November 2011

Catatan Perjalanan Temu Sastrawan Indonesia-IV, Ternate, Maluku Utara

(1)

Tunduklah kepada Salmah, pergilah ke mana ia pergi. Dan ikuti angin takdir, bergeraklah ke mana angin ini bergerak (Ahmad Al Hadhrami)

Entah sejak kapan tepatnya saya mengikuti Salmah –atau dalam hal ini, mulai bergerak mengikuti angin, membaca, lantas mulai menulis sejumlah puisi. Biarlah Hanya Tuhan yang masih mengingatnya. Dan barangkali Pak Wardjito (Pendiri Penulismuda.com), yang sejak awal, dengan ikhlas, sudah sudi membaca sajak-sajak mentah yang mulai saya tulis. Sebab saya sendiri telah benar-benar dengan sengaja melupakan waktunya. Dan bahkan saya telah membakar seluruh sajaknya. Bukan bermaksud ingin menghapus jejak awal proses kreatif saya, tetapi justru karena saya ingin menekankan, bahwa semenjak kita dilahirkan betapa puisi telah meliputi hari-hari manusia. Bahwa dari waktu ke waktu, puisi terus berproses dalam diri manusia. Disadari atau tidak. Diinginkan atau tidak. Dituliskan atau tidak!

(2)

Barangkali kau masih mampu menahan peluru, tapi puisi ialah waktu. Ia adalah waktu!

Sebab seperti hidup, Sayangku, begitulah puisi mengalir. Tapi juga seperti kegelisahan, tanpa arah, tanpa hulu, dan tanpa hilir. Seperti ketika aku jatuh cinta padamu lantas kemudian berfikir:

Suatu hari, kenapa aku akan patah hati?

Kenapa jari-jariku hidup tetapi akan mati?

Kenapa bumi dibuat untuk terus dihancurkan kembali?

Yang saya ingat, ketika pertama jatuh cinta (kata pertama di sini pun sebenarnya adalah sesuatu yang ingin saya lupakan, sebab akan sangat mempersempit penafsiran), begitulah saya mulai suka membaca. Membaca apa saja. Maka “semenjak” jatuh cinta (nama lain patah hati) serta semenjak suka membaca itulah saya mulai menulis. Perihal pertanyaan-pertanyaan, kegelisahan-kegelisahan seperti di atas. Disertai kepekaan yang terlatih dengan sendirinya, juga kehadiran berbagai sudut pandang, yang menjadi berkah tersendiri bagi seorang penyair. Dan begitulah, seluruhnya didapat dengan membaca, proses awal agar seseorang bisa terus berfikir.

Sebab hanya pikiranlah yang dapat membedakan antara Adam dengan mayat hidup, antara orang waras dengan saya, antara seorang hyena dengan seekor manusia: Aku ingin merasa tak pernah ada, maka aku ada.

(3)

Kuceritakan kepadamu, bahwa ada seorang pencari yang tengah berjalan di garis tanganku. Ia percaya bahwa ia tak akan pernah menemukan apa-apa. Sebab betapa ia tahu, bahwa menemukan bukanlah takdir bagi seorang pencari, cintaku

Aneh juga menyaksikan kali pertama ia naik pesawat. Pertama menuju bandara, dan menyaksikan para petugas yang tak dapat menemukan bom waktu dalam dadanya. Aneh juga, karena dengar-dengar puisilah yang menerbangkannya, menuju event TSI-IV di Ternate, Maluku Utara.

“puisi? Hmm,,, ada-ada saja!”

(4)

Pungkit, aku menyentuh dengkul langit. Sementara dari jendela pesawat kusaksikan bumi dan abad-abad. Berlari,lantas saling melukai. Tak ada yang merawat, pulau-pulau sunyi yang sakit

(24/10) Sekitar pukul 07: 10 WIT, saya tiba di Bandara Sultan Babullah, Ternate. Tapi entah kenapa saya masih saja bertanya,

“apakah penting saya datang ke sini?”

“apakah saya harus berterimakasih ataukah saya harus mengutuk puisi-puisi yang telah merepotkan saya ini?”

“kenapa pak Wardjito (Pendiri Penulismuda.com) yang malah bisa melihat kepentingan event ini bagi saya, ketimbang saya? Sehingga beliau rela mengirimkan uangnya untuk biaya transpor saya! Padahal kami hanya pernah bertemu sekali. Dan ini yang saya garis bawahi, padahal beliau bukan Bupati!”

“jadi seberapa pentingkah event ini untuk saya?”

Begitulah saya terus mencari-cari jawaban. Saya mencari, maka tak menemukan.
Pertanyaan-pertanyaan ini, betapa erat kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan saya, kesangsian-kesangsian saya akan hidup.

Tuhan, saya bersumpah tidak akan bersedih jika sekalipun tidak bisa datang ke kota yang indah  ini. Sebagaimana saya tidak akan menangis meskipun saya tidak dilahirkan ke dunia.

Tapi sesuatu yang datang bukankah sudah sepatutnya untuk disyukuri? Yang berupa kesedihan atau pun yang merupakan kegembiraan. Lagi-lagi saya sangsi menghadapi dua hal ini. Kesedihan dan kegembiraan yang entah apa bedanya.

Tetapi sungguh saya bersyukur bisa datang ke kota ini. Meski sungguh, sebenarnya saya pun tetap akan bersyukur jika tak bisa datang ke kota ini.

Bersyukur pula bisa bertemu dengan sastrawan-sastrawan senior yang ternyata sama-sama manusia: Yang pendiam, yang murah senyum, yang pandai bicara, yang sombong.. yah manusia!

(5)

(26/10)

Aula Makugawene, Pemkot Ternate.

Tak banyak yang dapat saya tangkap dalam sesi seminar yang menghadirkan dua pembicara dan dimoderatori oleh Ahda Imran ini. Bukan disebabkan oleh mikropon yang bunuh diri ketika Afrizal Malna berbicara. Tapi barangkali ketika itu saya baru tahu apa itu seminar. Terlebih, saya bukan seorang dari kalangan akademisi. Terlebih, yang saya tahu “hanyalah” bertani dan menulis puisi.

Tapi ada yang perlu saya catat dan ingat, bahwa saya telah terpukau dengan pemikiran Manneke Budiman, yang waktu itu menjawab lontaran Binhad Nurrohmat dengan secara mengesankan.

Ya, saya perlu membaca esei-eseinya!

(6)

(27/10)

Malam Di Kelurahan Tubo. Tebakan saya tidak meleset, Acep Zamzam Noor berjoget.

(7)

Di sebuah kamar hotel yang mengarah ke laut, kulihat lampu-lampu juga kapal-kapal yang berangkat. Kamu, kembali berkelebat!

Kamar nomor 2323 bercahaya. Ahmad Faisal Imron yang berwajah manis. Hingga saya mengelilingi Tidore dengan gratis.

Matanya. Bahasa laut itu.

Ada yang harus saya tulis! Ada yang harus saya tulis!

(8)

Galah termasuk orang yang diberkahi kepala yang pecah. Ahmad Syahid dipanggilnya Walkman hanya karena jambangnya yang lebat. Sedangkan Herton, suka sekali bicara dengan handphone. Bahkan, ia memanggil Handphonenya dengan sebutan “neng”.

Sementara Restu memanggil saya dengan sebutan penulismuda dot com. Saya mengira, itu bagian dari cara promosinya. Promosi website di mana ia menjadi anggotanya juga.

(9)

Oke, saya sepakat dengan seluruh sastrawan bahwa LO nya memang cantik-cantik. Sungguh mengerikan!

(10)

Selepas membaca kembali artikel Husain Alting, SE di Malut Post  edisi 24/10/2011 sebagai Catatan Pengantar TSI-IV, dengan judul Narasi Cinta Dalam Sastra Etnik Ternate, saya bertanya-tanya tentang cerita Sofi Sado Sone yang dibahas sepintas. Kisah sepasang kekasih yang memilih dimakamkan bersama di kawasan pekuburan Santiong. Tapi sayang sekali, seperti di dalam artikel itu, para LO pun tak ada yang lebih tahu dengan jelas. Barangkali memang seperti yang sudah dijelaskan di dalam artikel itu sendiri:

Bahwa sastra lama Ternate tidak terdokumentasi dengan baik dan hanya ditemukan melalui ungkapan lisan para orang tua atau serpihan-serpihan kertas yang tercecer pada masing-masing individu.

(11)

(25/10)

Di Lapangan Ngara Lamo, selain penampilan Emha dengan Kyai Kanjengnya, monolog cerpenis Joni Ariadinata benar-benar tak kalah menariknya. Penampilan Happy Salma mah, No Coment lah!

(12)

(26/10)

Malam di Dodoku Ali, bersama Pungkit ditraktir Isbedy (salah satu Kurator Puisi) minum segelas Guraka.

Laut tengah surut waktu itu.

(13)

(27/10)

Malam di stadion Kie Raha. Lomba baca puisi tngkat SMU, untuk mengejar target rekor MURI dengan juri terbanyak.

Ah, rekor, entah kenapa masih saja berputar-putar dengan kategori yang itu-itu saja. Terbanyak, terpanjang, terlama, tercepat, terbesar, terkecil!

(14)

Honor belum dibagikan, Matdon kasihan.

Mengingat Afrizal Malna. Pakaian kotor menumpuk di dasar jurang, katanya. Laundry di Hotel, alahai, betapa mahal!

(15)

Termasuk kau kekasihku, tapi rupanya dunia terlalu semu untuk kujadikan sebab, bagi segala kegirangan juga kedukaanku

(29/10)

Sebagian kepulangan tertunda karena jadwal penerbangan yang diundur. Ada yang sedih, ada yang gembira. Tergantung memakai kaca mata siapa. Saya tidak dalam kedua-duanya.

 (16)

Seperti hamparan lampu-lampu itu yang lebih terlihat indah dari kejauhan. Kau, Nampak lebih bercahaya dalam kenangan

Rabu, 02 November 2011

Lomba Baca Puisi SST Se-Jawa Barat 2011

LOMBA BACA PUISI SE-JAWA BARAT 2011

Kembali Kepada Kebeningan Nurani

Setelah tertunda-tunda selama beberapa bulan, Sanggar Sastra Tasik (SST) akhirnya kembali akan menggelar Lomba Baca Puisi se-Jawa Barat 2011. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang selalu diselenggarakan di Gedung Dakwah Islamiyah (GDI) Tasikmalaya, lomba kali ini akan mengambil tempat di Gd. Pendopo Lama Kabupaten, yang beralamat di Jl. RAA Wiratanuningrat, Kota Tasikmalaya. Kegiatan direncanakan akan berlangsung sejak tanggal 10 hingga 13 November 2011 mendatang.


TENTANG PERLOMBAAAN

Lomba terbuka untuk umum usia 17 tahun ke atas dengan persyaratan sbb: Warga Negara Indonesia atau WNI Keturunan, berdomisili di Jawa Barat atau di manapun di Indonesia namun lahir di Jawa Barat yang dibuktikan dengan fotokopi KTP.

Calon peserta mendaftar langsung ke tempat-tempat pendaftaran yang telah ditentukan, mengisi formulir pendaftaran, serta membayar biaya administrasi sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah).

Untuk peserta yang berdomisili di luar alamat sekretariat pendaftaran yang tercantum di bawah, dapat mendaftarkan diri ke tempat pendaftaran terdekat.


TEKNIS PERLOMBAAN

Peserta memilih dua judul puisi yang telah disediakan panitia dalam bentuk Antologi Puisi Lomba yang bisa diperoleh saat mendaftar, satu judul puisi dibacakan pada Babak Penyisihan, dan satu judul yang lainnya dibacakan pada Babak Final jika peserta bersangkutan berhasil masuk Final. Jadi, baik di Babak Penyisihan maupun di Final, peserta hanya membacakan satu buah puisi yang berbeda.

Adapun puisi-puisi yang wajib dibawakan peserta tersebut antara lain :

1. Acep Zamzam Noor - LEDAKAN-LEDAKAN

2. Saeful Badar - DI PENGHUJUNG SEBUAH MASEHI

3. Sarabunis Mubarok - PERAPIAN

4. Irvan Mulyadie – CILOSEH

5. Jun Nizami - GLAUKOMA

6. Rendra - KOYAN YANG MALANG

7. Goenawan Mohamad - HARI TERAKHIR SEORANG PENYAIR, SUATU SIANG

8. Bode Riswandi - SITU GINTUNG

9. Nazaruddin Azhar - PELARIAN

10. Juniarso Ridwan - SEUTAS SENYUM MENUSUK MATAHARI

11. Soni Farid Maulana - SYAIR BUNGA KANGKUNG

12. Taufiq Ismail - BENDERA LASKAR

13. Cecep Syamsulhari - KENANG-KENANGAN

14. Sutardji Calzoum Bachri - DAGING

15. Kriapur - AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI

16. Yusran Arifin - THE EMBROIDER BLUES


DEWAN JURI

Direncanakan, dewan juri terdiri atas Beni Setia (Caruban, Jawa Timur), Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), serta Yusef Muldiyana (Laskar Panggung Bandung) akan memilih dan menentukan 6 orang pemenang, masing-masing akan dikukuhkan sebagai Juara 1, 2, dan 3, serta harapan 1, 2, dan 3. Para pemenang akan dianugerahi thropi bergilir (untuk juara 1), thropi tetap untuk seluruh juara, piagam penghargaan, bingkisan, serta uang pembinaan (khusus untuk juara 1 s.d. juara 3).

Pendaftaran dibuka mulai tanggal 25 Oktober 2011 hingga 8 November 2011 di tempat-tempat sebagai berikut :

TASIKMALAYA:

Sekretariat SST melalui “Argas Cell” Jl. Argasari No. 18,

Graha Pena Radar Tasikmalaya, Jl. SL Tobing No. 99 Kel. Tugujaya Kec. Cihideung,

Teater 28 Unsil, Jl. Siliwangi,

Komunitas Aksara UPI Kampus Tasikmalaya, serta

Komunitas Antik (Bapak Agus AW), Jl. Raya Cisinga, Padakembang Hp. 081321344427;


CIAMIS:

Bapak Kidung Purnama (SMA Negeri 1 Ciamis/Hp 081320797616);


BANDUNG:

Sdr. Zulkifli Songyanan (Hp 085323420359) Area Studi dan Apresiasi Sastra (ASAS), Gd. PKM Lt.1 No. 6 Kampus UPI, Jl. Dr. Setia Budi Bandung;


CIREBON:

Sdr. Baequni (Hp. 081320216620) Komunitas Sastrawan Santri (KSS), pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon;


MAJALENGKA:

Sdri. Diah Rosdiana, Blok Kenanga RT 7 RW 04, Desa/Kec. Panyingkiran, Kab. Majalengka (Hp.081222155512).


Teknikal Meeting akan berlangsung hari Kamis, 10 November 2011 mulai jam 09.00 WIB di Gd. Pendopo Tasikmalaya. Sedang pelaksanaan lomba akan berlangsung pada Sabtu dan Minggu tanggal 12 dan 13 November 2011 mulai jam 08.00 WIB-Selesai.


Karnaval Kesenian

Seperti biasa kegiatan Lomba Baca Puisi Se-Jabar ala SST ini akan dimeriahkan oleh Karnaval Kesenian yang bisa diikuti oleh berbagai kalangan dalam masyarakat, baik seniman ataupun bukan, yang akan melintasi rute yang telah ditentukan di sekitar Kota Tasikmalaya. Karnaval akan berlangsung pada hari Jumat (11/11/11) mulai pukul 13.30 WIB hingga selesai. Selain itu juga ada Bursa Buku, Pentas Seni Tradisi dan Musikalisasi Puisi, juga Bedah Buku.

Para peserta Karnaval bisa mendaftarkan diri kepada panitia yang jadwalnya disesuaikan dengan jadwal pendaftaran peserta Lomba Baca Puisi.

Hal-hal yang belum jelas berkaitan dengan kegiatan ini bisa ditanyakan langsung di Sekretariat Sanggar Sastra Tasik (SST), Jl. Argasari No. 22 RT 03/02 Kel. Argasari, Kota Tasikmalaya. (CP: 081222978369/Badar, 081802128581/Irvan, 02659104575/Bunbun, 081222899786/Arif Reff), atau bisa titip pesan lewat Facebook di Grup Sanggar Sastra Tasik (SST).


Saeful Badar/Ketua Panitia


DOWNLOAD :

1. Antologi Puisi Lomba (klik)

http://www.ziddu.com/download/16978564/ANTOLOGIPUISI_LOMBABACAPUISISE-JAWABARAT20111.pdf.html

2. Formulir Pendaftaran (klik)

http://www.ziddu.com/download/16978712/FORMULIRPENDAFTARANLBP2011.pdf.html

Minggu, 25 September 2011

Temu Sastrawan Indonesia IV, Ternate

Temu Sastrawan Indonesia IV-- Ternate



124 Sastrawan Siap Mengikuti TSI 4 Ternate

Jakarta – Sebanyak 124 sastrawan siap mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 4 di Ternate, 25-29 Oktober 2011. Untuk cerpenis yang lolos sejumlah 11 orang, sementara penyair 81 orang.
DAFTAR 81 PENYAIR


1. Abdul Salam HS -- Banten
2. Ahmad Faqih Mahfuz -- Yogyakarta
3. Adin -- Jawa Tengah
4. Adri Sandara -- Sumatera Barat
5. AF Kurniawan -- Jawa Tengah
6. A. Faruqi Munif Jawa Timur
7. Ahmad David Kholilurrahman -- Jambi
8. Ahmad Syahid -- Jawa Barat
9. Alek Subairi -- Jawa Timur
10. Alex R Nainggolan -- Jakarta
11. Arizal Tanjung -- Sumatera Barat
12. Alya Salasha-Sinta -- Bekasi
13. Amin Basiri -- Jawa Timur
14. Arther Panther Olii -- Sulawesi Utara
15. Bambang Widiatmo -- Jakarta
16. Boedi Ismanto SA -- Yogyakarya
17. Damiri Mahmud -- Sumatera Utara
18. Dedi Supendra -- Sumatera Barat
19. Dedi Triadi -- Malang
20. Dian Hartati -- Jawa Barat
21. Dino Umahuk -- Ternate
22. Doddy Kristanto -- Jawa Timur
23. Doel CP Alisah -- Aceh
24. Dwi Setyo Wibowo -- Jawa Tengah
25. Edi Firmansyah -- Jawa Timur
26. Effendi Danata -- NTB
27. Esha Tegar Putra -- Sumatera Barat
28. Fajar Martha -- Riau
29. Fatkurrahman Karim -- Jawa Barat
30. Fatih Kudus Jaelani -- NTB
31. Febrie Hastiyanto -- Jawa Tengah
32. Frans Ekodhanto -- Jakarta
33. Galah Denawa Jawa Barat
34. Hanna Fransisca -- Jakarta
35. Herdoni Syafriansyah -- Sumatera Selatan
36. Herman RN -- Aceh
37. Herton Maridi -- Jawa Barat
38. Husen Arifin -- Jawa Timur
39. Husnu Abadi -- Riau
40. Idrus F Shahab -- Jakarta
41. Idris Siregar -- Sumatera Utara
42. I Putu Gede Pradipta -- Bali
43. Ishack Sonlay -- NTT
44. Jun Nizami -- Jawa Barat
45. Kiki Sulistyo -- NTB
46. Lailatul Kiptiyah -- Jakarta
47. Lina Kelana -- Jawa Timur
48. Mahmud Jauhari Ali -- Kalimantan Timur
49. Mahendra -- Jawa Timur
50. Maulana Satrya -- Sumatera Utara
51. Muhammad Ibrahim Ilyas -- Sumatera Barat
52. Muhammad Ridwan -- Jawa Timur
53. Mario F Lawi -- NTT
54. Matdon -- Jawa Barat
55. Nanang Suryadi -- Jawa Timur
56. Nurhayat Arief Sumatera Selatan
57. Pungkit Wijaya Jawa Barat
58. Qizink La Aziva Banten
59. Restu Putra Jawa Barat
60. Rozi Kembara Jakarta
61. Rudi Ramdani Jawa Barat
62. Salman Yoga S Aceh
63. Shohifur Ridho Ilahi Yogyakarya
64. Sindu Putra NTB
65. Sulaiman Juned Sumatera Barat
66. Sulaiman Tripa Aceh
67. Sutan Iwan Sukri Munaf Bekasi
68. Setiyo Bardono -- Depok
69. Syaifuddin Gani -- Sulawesi Tenggara
70. Syaiful Rahman -- Jawa Timur
71. Sekar Arum --
72. Teja Purnama -- Sumatera Utara
73. Tulus Wijanarko -- Jakarta
74. Tina Aprida Marpaung -- Sumatera Utara
75. Toni Lesmana -- Jawa Barat
76. Tjahjono Widijanto -- Jawa Timur
77. Umar Fauzi Ballah -- Jawa Timur
78. Wachyu Prastianto -- Jakarta
79. Vidy AD Daery -- Jawa Timur
80. Yan Zavin Auddjand -
81. Yori Kayama -- Sumatera Barat
CEPREN
...
Nama Judul Cepen Daerah Asal
1. Eko Triono/ Penggiring Tikus / DI. Yogyakarta
2. Bamby Cahyadi/ Malaikat yang Mencintai Senja/ DKI Jakarta
3. Ria Ristiana Dewi/ Borugo/ Sumatera Utara
4. Tjak S. Parlan/ Rumah Ayah dan Kisah Lainnya/ NTB
5. Miftah Fadhli/ Tertawa, Meja Kesayangan/ Depok
6. Andika Sahara/ Bukit Patah Sembilan/ Sumatera Barat
7. Neneng Nurjanah/ Warung Kupat Tahu/ Jawa Barat
8. Muhammad Nasir Age/ Si Budog Anjing Nek Akob/ Aceh
9. Syarif Hidayatullah/ Orang Gila Dari Gang Delima/ DKI Jakarta
10. Rahmat Heldy HS/ Jebah/ Banten
11. Norman Erikson/ Kondektur/ Bekasi

Kepada ke peserta yang lolos seleksi agar segera mengirimkan alamat legkapnya mohon segera dikirimkan ke email: valdinho74@yahoo.co.uk atau di sms ke Dino Umahuk (082194623888 – 085823635424). paling lambat tagl 15 sept 2011.


“Ke 92 sastrawan tersebut, lolos seleksi karya oleh Dewan Kurator yang bersidang di Jakarta, 10-11 September 2011,” jelas Dino Umahuk, sekretaris panitia TSI 4 mewakil...i Ketua Pelaksana Sofyan Daud.

Sehingga, imbuh Dino, TSI 4 akan diikuti 123 sastrawan (cerpenis-penyair), sebab 32 sastrawan yang telah dipilih oleh Dewan Kurator untuk difasilitasi transportasi dari tempat asal ke Ternate pergi-pulang.

“Jumlah sastrawan itu diluar narasumber, moderator, fasilitator workshop, dan penampil pada malam pembukaan dan penutupan,” kata Dino.

Keputusan tersebut, hasil sidang Dewan Kurator Temu Sastra Indonesia (TSI) IV yang digelar selama dua hari di Jakarta, Minggu (10-11/9). Karya-karya sastra yang terpilih itu akan dibukukan dalam antologi sastra TSI 4. Smeentara itu, makalah-makalah untuk diskusi pun sedang disiapkan oleh narasumber yang deadlinenya akan ditutup pad akhir September 2011. Dua buku, satu buku kumpulan cerpen dan puisi dan satu buku kumpulan esei akan dicetak pada pertengahan minggu kedua bulan Oktober dan diluncurkan ketika berlangsungnya acara.

Menurut Ketua Pelaksana Sofyan Daud, panitia akan melayangkan undangan resmi ke semua peserta, baik peserta yang telah dipilih sebelumnya mau pun karya yang lolos seleksi Dewan Kurator, berupa surat undangan resmi mulai Senin (12/9).
Untuk puisi, salah satu dewan kurator genre puisi, Joko Pinurbo dalam jumpa persnya yang digelar di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Minggu (11/9) mengatakan, dalam seleksi puisi ini, banyak ditemukan nama-nama baru yang menjanjikan bagi perkembangan puisi Indonesia di kemudian hari.

“Para penyair yang terpilih karyanya ini pun variatif, dari penyair perempuan dan penyair lelaki, sama-sama memperlihatkan kekuatan dalam puisi yang mereka kirimkan,” kata penulis buku Celana.

Sedangkan Linda Christanty, salah satu dewan kurator cerpen menjelaskan, cerpen-cerpen yang dikirimkan dan diterima oleh dewan kurator berasal dari berbagai tempat di Indonesia.
"Artinya, kreativitas tumbuh dan menyebar dengan kekuatan estetika lokalnya masing-masing. Kualitas juga beragam. Bahkan ada beberapa nama baru yang saya yakin akan jadi penulis-penulis terbaik negeri ini di masa depan," ujar Linda Christanty.
Secara keseluruhan, Dewan Kurator yang terbagi dalam tiga genre, yaitu untuk esai dikuratori oleh Nukila Amal, Zen Hae dan Jamal D. Rahman, untuk cerpen Tarmizi Rumahitam, Triyanto Triwikoromo, Sihar Ramses Simatupang. dan Linda Christanty. Sedangkan puisi dikuratori oleh Isbedy Stiawan ZS, D Kemalawati, Joko PInurbo, dan Rudi Fofid. Naskah yang masuk ke panitia untuk TSI IV ini 124 cerpenis, 495 penyair. Sedangkan untuk esai dipilih dari karya para narasumber yang diundang di TSI IV.

Walikota Ternate Burhan Abdurrahman mengatakan, Pemerintah Daerah mendukung sepenuhnya TSI IV yang siap digelar. Sultan Ternate, Mudaffar Sjah pun mengatakan, masyarakat kota Ternate akan mendukung kesuksesan kegiatan ini.
Rencananya, para sastrawan dan budayawan yang diundang untuk mengisi Malam Pembukaan TSI IV ini antara lain Happy Salma, D Zawawi Imron, Joni Ariadinata dan Agus Nuramal (PMTOH).

Senin, 04 Juli 2011

Marhaban Ya Almaut

Marhaban Ya Almaut

Tetapi sebelumnya, kepadamu, seseorang mengungkapkan sebuah kalimat yang dipinjamnya dari Rasul Ibrahim:
“Adakah kau pernah melihat seorang kekasih membinasakan kekasihnya, Almaut?”

Tetapi kemudian, kalimatmu pun terlahir dengan sejuta warna bahasa, dari sejuta lidah dari sejuta mulutmu yang selalu basah:
“Hei fulan, adakah kau pernah melihat seorang kekasih menolak undangan kekasihnya?”

Dan setelah itu, maka bernyanyilah kami, berdendanglah kami sepanjang hari. Setulus hati,dan sepenuh kefanaan ini:


Marhaban ya Almaut
Yang tegap, dan menetap di lengan sayap kekasih Ibrahim
Dengan tubuh, di mana sepenuh za’faran tumbuh
Mahluk, yang tak satu pun dari setiap hal yang berdenyut
Akan luput, dari merasakan kepedihan dari tanganmu

Marhaban ya Almaut
Kudeta bagi segala raja, dinasti, dan duka: Tamasya
Jalan menukik, dari nestapa yang ditempuh para salik
Cahaya dari pintu, bagi seluruh teka-teki dan segala rahasia
Waktu

Marhaban ya Almaut
Yang Baka bagi segala cinta
Tafsir Api dalam kabut
Kekasih, sekaligus musuh dalam selimut


2011

Rabu, 18 Mei 2011

Puisi Sarabunis Mubarok



Sarabunis Mubarok

DI LELANCIP MALAM
             -buat Jun An Nizami

Malam larut bersama kopi hitam, lalu kita
saling pandang dengan mata menyala. Sambil
menjulurkan lidah, kau menjilat rasa pahit dari
hidup yang dihimpit kebenaran normatif. Tapi
aku tak bisa memberimu gula, meski kau ingin
memaniskan percakapan kita.  Sebab di rumahku,
semut-semut tengah bertelur di tumpukan buku.
Sebab setelah mereka menetas pun kau takkan
bisa mengenali anak-anak semut itu satu persatu.

Lalu kau mencerap asap dari seduhan kopi, dan
melanjutkan percakapan tentang keheningan.
Tanpa menghiraukan suara jangkrik, kau terus
berbisik tentang malam dan kegelapan. Melulu
sampai ke batas sunyi, dan menemukan teka-teki
yang harus kaupecahkan sendiri. Sedang aku
bukanlah api bagi sebatang lilin. Tak ada yang
bisa melelehkan kebuntuanmu selain puisi,
selain tanpa henti mengenali diri sendiri.

Malam mendekati lelancipnya, saat terdengar
lolongan anjing di kejauhan. Aku menafsirnya
sebagai nyanyian malam, dan memintamu untuk
tak meremehkan pertanda alam. Lolongan berulang,
aku meruncingkan telinga sementara kau mengemas
diam. Kau mengira anjing di kampungku tak lebih
liar dari anjing di pikiranmu. Lalu kau menyalak
ketika kutemukan banyak puisi yang dibanggakan
para penyair, tiba-tiba menjadi tulang.

2011.