Minggu, 29 Desember 2013

CATATAN JURI JABAR AWARD 2013



KESADARAN MEMANUSKRIPKAN KARYA

 0.

         DALAM kesederhanaannya, penyelenggaraan Lomba Manuskrip Sastra ”Jabar Award 2013” ini merupakan upaya dari Komunitas Malaikat untuk mengsigairahkan penciptaan, penjelajahan kreativitas, dan seleksi pribadi pada karya yang tercipta yang kemudian disatukan dalam satu manuskrip. Di sini juri mengartikan termin manuskrip sebagai naskah yang siap cetak dan terbit sebagai buku, yang relatif tak bisa diedit dan dikoreksi lagi. Pendekatannya berfokus kepada rentangan kreasi. Berawal dari potensi daya cipta yang dieksplorasi serta dieksploitasi, kreativitas yang dipacu sehingga bisa menghasilkan karya, bukti dari produktivitas itu terlihat dari sukses publikasi di media massa--meski ada yang sama sekaligus tidak kepincut untuk mempublikasikan karya--, dan bagaimana khazanah karya itu dipilih sehingga manuskrip itu menampung karya yang relatif setara sambil sekaligus memiliki keragaman--agar tak terjadi pengulangan cerita/tema dengan mengubah sudut pandang atau penokohan. Di titik ini, bersengaja mempersiapkan manuskrip bermakna ketelitian memilih karya unggul di antara sekian yang tercipta, keberanian untuk menyeleksi, dan penentuan kebijakan sehingga karya-karya itu dikelompokkan ke dalam manuskrip. Dengan kata lain, manuskrip itu bukan sekedar kliping, harus didasari pemikiran yang tersurat dipertanggungjawabkan dalam kata pengantar.

         Meski yang tersurat dijadikan persyaratan formal cuma mengacu pada ujudia: si sastrawan berdomisili di Jawa Barat--baik terlahir atau pendatang, yang mungkin ada dibuktikan kepemilikan KTP Jawa Barat--, dan usia si bersangkutan tak lebih dari 45 tahun. Tapi yang tersirat disasar itu justru aspek kesadaran cipta, sehingga karya yang tercipta itu tak hanya diserahkan kepada mekanisme pasar yang berupa sekian selera redaksi sastra di sekian media massa cetak yang menyediakan rubrik sastra, lalu pelan menyimpulkan kualitas (karya) dari keterpublikasian--dari di media massa cetak apa terpublikasikan. ”Legitimasi-legitimasi” dari bermacam-macam media massa cetak itu membuat banyak sastrawan terlena, menulis agar bisa terbit dengan ”melayani” selera redaktur sastra--yang terkadang berlindung di sebalik cadar misteri selera pembaca--, abai tidak menggali potensi apa yang dimiliki, tidak kritis menentukan apa yang bisa dikembangkan sehingga berbeda dari yang ada, serta apa yang harus dihindari karena terlalu sering ditulis dan telah banyak ditulis orang lain. Tidak kembali ke dalam diri sendiri, dan jadi tergantung kepada selera media massa cetak. Jadi bagian dari trend--tuntutan pasar yang berubah-ubah--, atau jadi robot yang terus mengekalkan brand--ciri produk yang dianggap khas.

          Justru hal itu yang sebenarnya sedang digarisbawahi Komunitas Malaikat--dan coba diaplikasikan juri dan pemilihan nominee, serta penentuan juara dalam rapat juri. Kelihatannya sederhana tapi ternyata tidak mudah dioperasionalkan.





         1.

          SECARA tehnis lomba ini hanya menyediakan satu mahkota juara bagi si karya pemenang--dengan kata lain, penekanannya pada karya bukan pada sosok kreatornya, meski diharapkan ada pertanggungjawaban kreator atas karya yang diciptakannya dan kemudian disatukan dalam manuskrip--dengan lima karya nominasi tidak berdasarkan ranking. Dengan hanya ada 21 (dua puluh satu) manuskrip saja kerja memeriksa serta menilai dari juri ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, karena manuskrup itu ada yang berjenis puisi--sekitar 12 (dua belas) manuskrip--, serta sekitar 9 (sembilan) prosa--terdiri dari 8 (delapan) kumpulan cerpen serta 1 (satu) novel. Dengan jumlah relatif terbatas itu juri sering kehilangan orientasi, karena dipaksa berpindah dari satu unikum ungkapia puisi ke corak khas ungkap prosa--dengan satu yang sangat panjang, sehingga tak terbayang kalau ada tambahan 3 (tiga) manuskrip novel lagi. Tidak heran bila juri terpaksa melakukan pengelompokan, kumpulan puisi dengan kumpulan puisi, lantas dibaca satu per satu sampai habis terbaca--lantas prosa, terutama kumpulannya cerpen karena novel hanya satu--, kemudian dilihat apakah dalam kumpulan puisi dan cerpen itu antara satu karya dengan karya yang lain itu level kematangan penciptaan dan kekuatan pengungkapan relatif sejajar. Fenomena ada fluktuasi kualitas nan terjal, sampai di sejauh mana pengulangan tema dilakukan hingga cerita depert cuma varian akibat dari pengalihan sudut pandang dan penokohan yang diceritakan jadi acuan.

         Dari pendekatan itu masing-masing juri mengajukan ”jago”-nya. Ketika dirunut, ada 8 (delapan) karya yang dinominasikan dan harus diperdebatkan. Yang lengkapnya seperti berikut ini--cuma disebutkan judul karya karena semua manuskrip tak bernama serta semua petunjuk yang mengarah pada pengenalan identitas si kreator dihilangkan panitia--: Almah Melahirkan Nabi, Cinta Seperti Angin Bermain di Pucuk Tebu, Dada Tuhan, Jampi Badak Putih, Kandil Kirmizi, Kartu Mati, Nota Elegia, serta Sejarah Merapal Mantra. Dari total 8 (delapan) karya unggulan itu ternyata ada 3 (tiga) karya yang dinominasikan tiga juri--Almah Melahirkan Nabi, Cinta Seperti Angin di Pucuk Tebu, dan Nota Elegia--, dan 2 (dua) karya dinominasikan oleh dua juri--Dada Tuhan dan Jampi Badak Putih. Karena itu perdebatan difokuskan pada tiga karya yang sama di-”jago”-kan ketiga juri--sambil tetap memsiperbincangkan kemungkinan dari karya yang disi-“jago”-kan dua juri dan yang oleh satu juri. Meski begitu, di bawah ini, juri hanya akan berfokus pada kelebihan dari karya-karya yang disepakati untuk dijadikan juara--dan diterbitkan sebagai buku.



         2.

         PENDEKATAN yang dilakukan di babak final dalam rapat juri itu bertolak dari kesepakatan tentang aspek-aspek yang harus ditimbangkan dan diperdebatkan yakni: kepaduan, kedalaman, dan kebaruan. Detil rincinya sebagai berikut:



         Kebaruan

         Di dalam menilai segi kebaruan/orisinalitas ini juri memsiperhatikan pemilihan masalah serta gaya pengungkapan si kreator dalam menyampaikan apa masalah yang dipilihnya, dengan memperhatikan segi kebaruan dari masalah yang diangkat kreator. Apa yang diangkat merupakan masalah yang baru--jarang atau belum pernah diangkat kreator-kreator sebelumnya, tidak klise--, bagaimana cara pandang si kreator terhadap masalah tersebut--apa dengan sudut atau cara pandang baru serta personal. Kalaupun masalah yang diangkat itu tak baru, tapi jika si kreator punya cara dan sudut pandang baru, personal, maka karya terlahir memiliki orisinalitas. Dengan kebaruan karya akan memiliki daya tarik.Dan itu, selain disebabkan oleh pemilihan masalah (tema/isi), pun dipicu oleh cara ucap/ungkap. Aspek ini tercermin dari penggunaan bahasa, style serta penyusunan struktur--plot, penokohan, latar, dan point of view untuk prosa; dan diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi, dan tipografi untuk puisi. Bisa saja si kreator mengangkat masalah atau tema klise, tapi bila memiliki cara dan pengucapan baru, maka karyanya (dinilai) punya kabaruan. Meski begitu kebaruan isi, cq tema atau masalah, serta gaya ucap (bentuk) tak bisa dinilai terpisah.

         Bentuk dan isi satu.



         Kedalaman

         Selain kebaruan juri menganalisis kedalaman, dengan memperhatikan aspek isi--masalah/tema--dan bentuk--bahasa/style dan struktur. Memperhatikan sejauh apa atau sedalam apa pengetahuan dan pemahaman si kreator akan masalah apa yang disajikan. Seorang kreator diandaikan lebih tahu dan paham tentang apa yang dikemukakannya dari pembacanya. Jika hanya mengekslorasi, mengeksploitasi, dan mengangkat suatu masalah--dalam karya--dengan pemahaman pembaca awam, karya tidak memberikan apa-apa. Kedalaman merupakan hal penting dalam proses penciptaan, merupakan satu penjumlahan dari laku tekun membaca, mengamati, survai, dan (personal) mengalami. Jadi cerminan pengetahuan dan pemahaman tentang masalah yang msu dikemukakan, dan terindikasi pada cara si kreator menyajikan/mengungkapkan. Kedalaman terlihat dari penyajian bahasa dan struktur. Dari intensitas penggunaan bahasa, dari intensitas penguasaan struktur serta tata bahasa, dan pemanfaatan style secara tajam fan efektif. Pengolahan struktur secara tajam memperpekat isi/gagasan yang disampaikan.

         Ketika menilai kedalaman di segi bentuk juri pun memperhatikan kepadatan dan ketajaman mengolah bahasa dan struktur, sebab--seperti menilai kebaruan--penilaian aspek kedalaman tak bisa memisahkan bentuk dan isi. Keduanya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.



         Kepaduan

         Satu cerpen dianggap baik kalau mampu menyajikan kepadatan serta kepaduan dari dan antara unsur-unsur tema, bahasa, plot, penokohan, latar, dan sudut pandang-- karena cerpen itu pendek, tak memberi kesempatan bust bertele dalam pengungkapan. Dalam cerpen tak boleh ada bagian yang dibiarkan longgar. Setiap bagian atau unsur harus menjadi kesatuan yang padat, utuh, dan saling mendukung dalam mewujudkan apa yang ingin disampaikan. Antara bentuk serta isi harus sinkron saling menguatkan. Begitu pula puisi. Setiap unsur harus saling menguatkan dalam menyampaikan makna puisi. Dan salah satu hal yang dipakai untuk mengukuhkan kepaduan ini acuan logika. Dengan demikian, di dalam menilai karya-karya yang diunggulkan--selain aspek yang telah dikemukakan--, juri amat memperhatikan permainan dan kontrol logika ketika si kreator mencari apa yang ingin diungkapkan, ketika memilih bagaimana (si) apa yang akan diungkapkan, apa karya yang tercipta faktual meyakinkan atau hanya dongengan yang ngawang-ngawang fiksional, dan karenanya apa yang diduga ingin disampaikan si kreator bisa dipahami calon apresiatornya.

          Di sini logika tak hanya dterkait dengan logika linear saat memahami apa yang ingin disampaikan, tapi juga berkaitan erat dengan menemukan (bentuk) bagaimana mengsikomunikasikan (si) apa itu, yang bersipat logika lambang.



         3.

         KRITERIA yang dirumuskan itu tidak mengaburkan karakteristik khas kategori puisi dan prosa yang dinilai. Aspek kebaruan, kedalaman, dan kepaduan hanya acuan pembanding dalam menganalisis karya yang diunggulkan. Dan berdasar hal itu, dapat dikemukakan alasan keterpilihan dari manuskrip Nota Elegia sebagai pemenang dan Almah Melahirkan Nabi, Cinta Seperti Angin Bermain di Pucuk Tebu, Dada Tuhan, serta Jampi Badak Putih sebagai empat nominasi.



         Almah Melahirkan Nabi itu hampir memuat karya-karya yang telah terpublikasi di media massa cetak ternama, tapi kesiterpublikasian itu menghasilkan rasa nyaman, sehingga terjadi pengulangan cerita meski dari sudut pandang serta tokoh lain--selain brand bercerita yang seperti telah dipatenkan. Namun dibandingkan karya dari peserta lain, yang tidak masuk nominasi, manuskrip ini memiliki kekuatan, terutama di dalam pengolahan struktur sehingga tertata apik--antar unsur saling menguatkan--, keutuhan atau kepaduan terbentuk. Teknik pengungkapan memiliki kedalaman, pemilihan kata (diksi), pemanfaatan gaya bahasa, daya deskripsi, dan yang lainnya tak sembarangan. Bisa dibilang memiliki daya ungkap yang mempertegas makna--teknik bercerita pada ”Almah Melahirkan Nabi” segar dan orisinil.

         Cinta Seperti Angin Bermain di Pucuk Tebu dimulai dengan satu kata pengantar, yang menunjukkan cerpen yang dikumpulkan itu ditulis berdasarkan tendens tertentu, yang bila tak mistik-sufistik ya protes sosial. Ini lebih memudahkan pembacaan sebab diberi rambu buat memperteguh atau menyangsikannya. Sekaligus membimbangkan, sebab yang diandaikan mistik-sufistik atau yang riil protes sosial itu kadang bersipat dongeng--tuturan yang tak bisa ditafsirkan selain sekedar dongeng. Meskipun lancar, dengan aliran peristiwa-peristiwa yang memikat serta memikat perhatian--kisah-kisah sederhana namun mengejutkan dan bernas--, yang menggoda, yang memaksa (untuk) diperhatikan, tapi tak tertafsirkan sebab dongengan itu tak menghadirkan yang tesirat --masih artifisial mengada-ada. Memang ada yang menggugah--”Legenda Penakluk Harimau”, ”Legenda Harimau dan Sumur Tua”, dan ”Dongeng”--, tetapi ”Pembuang Sampah”, ”Menggambar Cinta”, ”Pulang ke Rumah Ibu” cuma mengada-ngada

         Dada Tuhan seperti kumpulan (puisi) dokumen dari eksplorasi serta eksploitasi tema (puisi) yang beda, setidaknya si kreator menggali buat menghadirkan aspek lain dari yang biasa diungkapkan dalam puisi terkini--atau sekedar situasi lain dari narasi dan peristiwa yang sering diberitakan--, yang diandaikannya orsinil. Sehingga terlahir dimensi unik dari apa yang selama ini dipahami orang banyak atau kebanyakan orang --dengan (passion) liris menekan suasana menghadirkan pemahaman empatik, yang melahirkan puisi-puisi naratif  berat membebani--”Buat Ana Politkovskaya”, ”Dari Catatan Harian Nadja Halilbegovich”, atau ”Sangkuriang”. Mungkin itu cerminan dari rasa salah dan katakberdayaan (sosial), yang (lantas) memuncak berkelindan dengan perbawaan dan sipat religius si kreator, dan jadi sikap tak berdaya dalam tidak kuasa melupakan penderitaan orang lain dan sekaligus tak bisa memaksakan perbaikan yang mensejahterakan si orang termarjinalkan. Sayang pengolahan unsur-unsur kepuitikan terkadang kurang paduan.

         Si kreator Jampi Badak Putih ini mencoba mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi persajakaan dan (fantas) misterium yang menggetarkan dari kkazanah jampi, rajah, dongeng, dan hikayat. Pola persajakan tradisional yang monoton serta repetitif itu spontan membuat kepaduan terpenuhi, kedalaman misterium tergali, dan kebaruan tergaet--setidaknya tampak dari inisiatif mengsiangkat hal-hal yang tidak terpikirkan oleh penyair-penyair lain, terutama ide mendeskripsikan sesuatu--binatang, benda, dll --secara rinci. Detil melakukan pendeskripsian, sekaligus menukik sehingga terasa ada nuansa kedalaman dalam mengolah aspek-aspek puitik. Meski sepintas puisi-puisinya tanpa pretensi, tapi semakin diselami terasa asa pukau filosofis.



         4.

         Kelebihan Nota Elegia terletak pada passion penulisan puisi nan terjaga, bahkan dijaga agar senantiasa menyala dengan terus membuat pertanyataan-pernyataan puitik. Lirik dan diksinya selalu ditata--atau tersitata karena:--menyarankan situasi dari upaya eksplorasi serta eksploitasi emosi--lihat ”Melankolia” atau ”Nota Elegia IX”. Bahkan kengungunan itu sengaja dipertahankan secara kreatif dengan produktif menghadirkan catatan tentang hal-hal sepele yang mendadak mensijelma jadi kristal puitik--seperti terlihat dalam gugusan sajak-sajak pendek improvisatif ”Petcahanan-petcahan Katca”. Puisi-puisi dalam manuskrip Nota Elegia menunjukkan keterampilan si kreator dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi sarana kepuitikan--diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi, serta tipografi--, sehingga kepaduan terjaga. Tiap unsur saling menguatkan dan dikuatkan unsur lain. Bahasanya jernih mengungkapkan makna. Dengan penguasaan sarana kepuitikan--meski bentuk ucapnya merujuk teknik dan gaya seperti digunakan oleh penyair 1990-an--mampu menghadirkan kebaruan, setidaknya kesegaran--seperti terlihat pada ”Memotong Rambut”, lewat pengulangan bait dan larik berselang-seling sedemikian rupa sehingga efek artistik, nada, dan irama mempertajam makna.

         Secara keseluruhan, sebagai kumpulan puisi, Nota Elegia memiliki keunggulan kualitas pencarian. Si penyair menjelajahi ke timur dan ke barat, ke kampung serta ke kota, menyelam ke dalam tradisi dan berkecimpung di dalam modernitas, menenggok masa lalu serta mengintip masa kini, merunut fakta-fakta sambil menakik imajinasi, dan memastikan untuk melangkah ke ketidakpastian--selain meraup kata dari bahasa daerah dan bahasa asing. Ada kesengajaan untuk tetap tinggal di dalam ketegangan--bahkan penegangan, karena situasi tegang itu sengaja diciptakan--dari dua dunia yang secara binner berbeda. Di mana di satu sisi mengkondisikan dirinya sebagai si pencari kebenaran yang tak mau diliputi kebimbangan, tapi di sisi lain senantia menyangsikan alternatif yang mengisyarat dari ujung terowongan pencarian--sehingga tidak pernah tuntas ditelusuri sampai di ujung. Situasi--yang disadarinya sebagai si terkondisikan--bukan pengkondisian yang mengesankan dirinya hanya obyek dari subyek dominan--, seperti yang ditulisnya dalam kata pengantar, Rhythm of Skepticism--sebuah esai yang tak selesai--, yang ditegaskan lagi dalam ”Lee”. Kenapa? Agar senantia melantunkan kasih (”Kawih Kinasih”), meski bernada murung (”Melankolia”). Dari dalam situasi itu si kreator rakus membuat catatan-catatan sedih dan pedih berupa nota elegia, teks galau dari sahaya yang lagi majnun.

         Imaji-imaji kuat berwujud dengan/dalam diksi-diksi yang mendukung, membuat puisi-puisi (terasa) otentik menghadirkan catatan pencarian akan arti kehidupan, cinta, kehilangan, dan kematian. Di titik ini si kreator--cara pandang, pikiran, perasaan, dan pengalamannya tergolong biasa saja, tapi dalam kesederhanaan--telah mesirasuki dan menyesap kedalaman pengalaman hidup.



         5.

          Cag!***





Cibutak, 23 November 2013



Beni Setia

Nenden Lilis Aisya

Toto ST Radik