Jumat, 19 Oktober 2012

Meletakkan Kepala di Atas Meja




Jun Nizami

Meletakkan Kepala di Atas Meja *

                                            -el

Seperti ingatanku kepadamu, sungai ini memanjang dari
dan melewati hutan dalam tahun-tahun yang terbakar.
Dadaku tak henti berkobar, tempat luka menghimpun tangis
dan riuh taifun memburuku laksana kenangan.
Selalu ke dalam sunyi, aku mengungsi dari badai diri sendiri.
Maka ingin kupahami kebuntuan, seperti menelusur alamatmu
tanpa sedikit pun --kepada siapa pun mengajukan pertanyaan

Seperti kebisuanku, malam terasa lebih kekal dari lenganku
yang kerap gemetar, isi kepala dan beberapa lembar sajak
yang hambar. Aku menulismu, tapi selalu kusaksikan
perahu-perahu terbalik dari ujung kerudungmu, Hapsah.
Seakan menghadiri pernikahan antara kesedih dan
kegembiraan yang sah. Aku pelayar, yang mengarungi
kemurungan demi kemurungan. Dan secangkir teh yang
kerap tumpah dari tanganku, kemudian menjelma laut
di mata seekor semut. Sedih dan kuyup. Kucintai kesendirian,
sebagaimana aku selalu berhasil mencari alasan bagi setiap
kehilangan:

-- Kau akan lebih abadi, sebab itulah aku lebih memilih
mengenang ketimbang memenjarakanmu di sisiku

-- Seperti hamparan lampu-lampu itu yang lebih terlihat
indah dari kejauhan, kau betapa nampak  lebih bercahaya
dalam kenangan

Seperti riwayat Homer yang terus berjalan, yang membacakan
puisinya di setiap alun-alun kota. Barangkali sebenarnya
kau adalah rahasia yang terbuka, ketika kupilih memahamimu
sebagai teka-teki, jalan gairah untuk terus mengembara.
Kutulis kesedihan sepanjang trotoar, lantas kubakar.
Aku melupakanmu dengan menyeru-nyeru nama ibu
yang menempuh abad-abad dengan rasa sakit yang berat,
menjadi salah satu dari jutaan anak yang mewarisi tabiatnya
yang agak suka memberontak. Menasehati bapak --menjadi
demonstran lantas membakar ban, sambil mengacungkan
jari tengah ke segala arah, ke seluruh sarang tikus yang berdiri
dengan angkuh dan megah

Tapi Hapsah, betapa seruanku terlalu rendah untuk cinta,
juga mendebat Zeus di puncak Ida. Tidak seperti kesedih dan
kegembiraan, tapi barangkali rindu dan ingatan diciptakan
Tuhan di waktu bersamaan. Maka keduanya selalu ingin aku
ungkapkan:

-- Kekasihku, kenapa gunung nampak begitu biru jika terlihat
dari jauh, dan di luar ingatan kenapa kau selalu nampak mustahil
untukku tempuh?

-- Di ingatanku, tapi jika melupakan merupakan sebuah
kemustahilan, maka akan terus aku mengingatmu, aku akan
terus mengingatmu. Hingga ingatan itu sampai di batas
kewalahan, atau bahkan melampaui batas-batas yang telah
kuperkirakan

Kekasihku, lantas kesendirian ini telah aku tafsir, sebelah
tanganku yang ditepuk sepi ialah genap, tapi jika ditepuk
cintamu adalah ganjil. Maka genaplah malamku sebagai belantara,
melancholia, dan keluasan gurun insomnia. Meski kerap di dalam
jaga, kumimpikan sebuah kota, puluhan truk yang mengangkut
takdir, dan seorang perampok yang tengah mengetuk jendela taxi
sepenuh cinta. Dan kau, yang melulu mendatangi kesendirianku
sambil berbisik “Soledad De Morena”, betapa seperti Euphrosyne
yang lungsur diliput cahaya, mengecupku, yang tengah meletakkan
kepala di atas meja.

2011

* dari Lukisan Acep Zamzam Noor

Sumber: Buku Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan Indonesia-IV)