Selasa, 14 Mei 2013

Bintang Berkedip Sepanjang Malam


Jun Nizami


Lee

tak, ada, tak ada yang kekal barangkali
tak, tak seorang pun pernah benar-
benar tinggal, laila

        setangkai                                          
                     leli
               yang
                     kucintai
              sepanjang
                             musim
                          pedih
                                       ini

hari-hari luruh, kota mati.
api padam (ataukah pergi?)

tetapi kita, yang seperti telah benar-benar
jatuh hati pada seluruh kesedih dan
kebingungan ini:

kita saling memeluk, meski akhirnya saling
melepaskan kembali. aku mencintaimu meski
tahu akhirnya aku akan patah hati
jatuh
dan
mati

sebab kita, barangkali, kereta yang ditakdirkan
untuk kerap menyesal dan terlambat. bagi alamat
yang merasa kesal dan selalu telah lebih dulu
berangkat

tak, tak ada yang kekal barangkali
selain rhythm of skepticism
esai yang tak selesai
dan namamu

setelah lenganku, cintaku, tertidur dan hancur.
tapi yang kekal itu ada, barangkali:
kata-kata bagi lenganku,
dan namamu yang tugur
di situ
atau bukan di situ, lailaku

       setangkai                                          
                     leli
               yang
                     kucintai
              sepanjang
                             keberadaan
                          yang
                                    sangsi
                                             ini




Nota Elegia VI

Malam ini, akhirnya aku memiliki keinginan untuk
tak memiliki hasrat pada apapun. Angin letih tertidur
di beranda, setelah berabad-abad menjadi seorang
pengembara. Menyampaikan pesan, salam kangen,
dan doa-doa. Menyaksikan seluruh peperangan
serta hakikat karma

Akhirnya aku memiliki keinginan untuk tak memiliki
hasrat pada apapun. Pada hidup. Pada malam yang begini
buruk, membaca novel ataupun menulis puisi hanya akan
membuatnya lebih prosais dan membosankan

Tapi barangkali, demi rasa bosan, untuk yang terakhir kali
(inilah kukira alasan paling buruk di muka bumi;
aku berjanji, ini yang terakhir kali) aku akan pergi ke
sebuah stasiun, pura-pura bertanya, pura-pura melihat
jadwal kereta tiba

Untuk yang terakhir kali, duduk menunggumu.
Pura-pura mengantuk, lantas pura-pura pula menelpon;
“Kau di mana?”
 Atau,
“Kau sudah sampai mana?”
“Penuhkah keretanya?”
“Aku menunggu!”
Kemudian, “Miss you.”
Lantas menangis, tentu jika tak terlihat
seorang pun. Menangis, untuk bukan apapun

Tetapi barangkali, telah ada seseorang yang
mengawasiku sedari tadi, lantas menghampiriku
dan bertanya;
“Anda menangis?” dan barangkali akan kujawab,
“Tidak.” Tetapi barangkali ia akan merasa heran,
“Tetapi air mata anda berjatuhan?”
“Barangkali mereka sudah enggan bertahan,
Atau mereka sekedar ingin jalan-jalan sebentar.”

Barangkali kemudian ia akan tertawa, lantas menyimpan
seorang gila dalam pikirannya. Atau mungkin buru-buru
memperbarui pertanyaannya. Semisal;
“Anda cemas menunggu?” Dan tentu, pertanyaannya
akan kujawab, “Ya..”
tetapi, ”Oh.. Tidak. Tidak.”

Setelah itu barangkali ia akan paham, bahwasanya
aku adalah seorang yang telah kehilangan.
Kehilanganmu. Tidak, tetapi aku tidak kehilanganmu.
Aku mencarimu. Tidak, tetapi aku tidak mencarimu.
Aku menunggumu. Tidak, tetapi aku tak menunggu
siapapun. Barangkali dungu, seorang sia-sia menunggu
seseorang yang tiada. Sia-sia. Sebab pencari ialah
mencari sesuatu yang tak ada






Nota Elegia IV

Apakah yang kekal, cintaku.

“Barangkali ucapan selamat tinggal,” seseorang
bergumam.

“Barangkali dermaga, barangkali dada,” katanya
kemudian, setelah kekasihnya kembali bertanya,
manakah tempat yang paling sepi di dunia.

Isyarat kapal. Akhirnya, sepasang pecinta itupun
berpisah dan saling melambai.

"Sampai jumpa," ucap sebuah kapal pada dermaga.

“Selamat tinggal,” di lambung kapal, tertanda
kepergian.

"Kembalilah jika usia cinta masih tersisa. Jika
berkenan. Barangkali kapan-kapan kita bisa
kembali, lantas saling melukai lagi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar